Lukup Galasantara Baranewsaceh.co – Desaku terletak jauh di pedalaman Aceh, tepatnya di bagian hulu sungai Tamiang. Nama desaku “Tampur Paluh” Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur.
Teramat sulit untuk ku jelaskan, karena kami berada di pedalaman, yang pasti kami masih terisolir dan termarginalkan. Apa yang selama ini kami rasakan, adalah keluh kesah dan rintihan jiwa dari ketidak berdayaan dan ketidakadilan.
Sekedar gambaran, butuh waktu yang cukup lama bagi kami jika harus turun ke kota, walau hanya sekedar membeli sejumlah kebutuhan pokok. Hal ini di sebabkan karena desaku belum memiliki akses jalan darat sebagai sarana tranfortasi.
Alih alih kami tak punya pilihan lain, terkecuali harus menumpangi perahu boot pompong yang dimiliki oleh warga desa Tampur Paluh. Banyak kendala yang harus kami lalui dalam perjalanan. Terkadang mesin perahu mati dan kami harus menepi ke bantaran sungai dengan dinding tebing yang curam serta rimba belantara.
Suara mesin perahu yang mendesing begitu memekakan telinga, belum lagi rintangan riam dan jeram serta bebatuan yang siap menenggelamkan kami jika salah dalam mengemudikan perahu. Yang jelas tak ada kata nyaman sepanjang perjalanan.
Yang paling menyedihkan apabila ada masyarakat yang sakit maka harus di bawa ke RSU Kabupaten Aceh tamiang. Karena lebih dekat dengan desa Tampur Paloh. Tidak bisa di bayangkan bahkan, sering kejadian apabila ada pasien sakit parah tidak bisa ditangani di desa maka wajib di bawa ke Rumah Sakit Umun yang jarak tempuhnya harus melalui sungai.
Terkadang pasien hanya sekedar mampir ke rumah sakit, selanjutnya harus di bawa pulang kembali untuk selanjutnya di kebumikan. Kami tidak pernah menyalahkan pemerintah dan dinas terkait, karena kami sadar di belahan dunia ini gak ada yang namanya “Ambulan Perahu” yang ada hanya mobil Ambulan yang melintasi jalan darat.
Mirisnya lagi dalam perjalanan apabila turun hujan, maka saat itu juga kami harus basah kuyup, karna perahu tempel yang kami tumpangi tak beratap sama sekali. Begitu juga sebaliknya, bila matahari lagi terik teriknya, maka kamipun harus terjemur lebih kurang 6 sampai 7 jam selama masih dalam perjalanan.
Akibatnya kulit kami hitam legam tersengat matahari. Untung saja perawakan kami masih seperti orang Aceh kebanyakan, hingga tidak timbul praduga terhadap kami bahwa kami keturunan orang orang Kamerun dan Somalia.
79 (tujuh puluh sembilan) tahun sudah Indonesia merdeka, namun tak ada perubahan berarti terhadap desa kami. Nasip kami masih seperti era jaman kolonial Belanda, yang jelas pahit getirnya kehidupan itulah gambaran kami di pedalaman selama ini. Lalu siapa yang mau di salahkan dan siapa yang mau peduli…?
Begitulah sulitnya perjalanan untuk bisa hadir di desa kelahiranku. Hal tersebut di karenakan hingga saat ini desaku Tampur Paluh belum memiliki akses jalan darat menuju pusat kota di Kabupaten Aceh Timur, yang ada hanya jalur sungai dengan tingkat resiko yang cukup tinggi.
Tak ada Gubernur yang berpikir sehat yang mau berkunjung ke desa kami. “Mudah mudahan Gubernur yang akan datang berasal dariorqng Aceh murni yang memang betul betul peduli dengan Aceh pedalaman.
Tampur Paluh desa yang terisolir dan termarginalkan, desa yang memang butuh perhatian, karena kami juga warga Aceh yang sangat rindu kemajuan. Karena selama ini kami hanya mendengar celoteh kemajuan dan kesejahteraaan menjelang hajat demokrasi. Entahkah itu Pileg, Pilbup, Pilgub, dan seterusnya Pilpres. Saat itu kami tak luput dari sanjungan, bimbingan, hingga terkesan jalan baru akan segera di buka.
Nyatanya harapan hanya sebatas janji palsu, yang di balut kesejahteraan. Tiupan angin surga terkesan pasti, tetapi semu akan sebuah perubahan. Mungkin hanya berhalusinasi dan bermimpi bila suatu saat desa kami akan setara dengan desa di luar sana. Namun apalah daya, musim berganti waktu, dari jaman kompeni hingga jaman MOU Helsinki, nyatanya kami hanya menumpangi perahu tua yang di jadikan sebagai alat tranfortasi.
Yang jelas nasip kami belum juga mengalami perubahan. Nasip desaku Tampur Paluh tak ubahnya sebuah tembang lawas milik, Dian Piesesha
“Aku Masih Seperti yang dulu”
Dari sudut desa di pedalaman Aceh ini, kami terus berdo’a, semoga Allah SWT mengabulkan harapan dan keinginan kami. Harapan besar ini juga kusandarkan ke pundakmu wahai calon Gubernur dan wakil gubernur Aceh, Mualim Dek Fadh. Semoga kalian faham akan arti sebuah kemerdekaan. Hingga pada suatu saat nanti, desa kami dapat diperhatikan, karena desa kami Tampur Paluh, rindu akan kemajuan. Tampur Paluh, (10/11/2024 (Hamdani)