BENER MERIAH,BARANEWS | Suasana berbeda menyelimuti halaman SD Negeri 1 Pante Raya, Kecamatan Weh Pesam, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Sabtu (26/7/2025). Deretan anak-anak berpakaian rapi didampingi orang tua mereka berdiri dalam barisan tenang. Di hadapan mereka, perangkat adat tersaji lengkap: beras dua liter, rotan ipiel, jarum betelenting yang ditancapkan ke kunyit, kain putih, uang logam, pulut putih, dan alat-alat petawaran untuk peusijuek. Bukan hanya seremoni, ini adalah peristiwa budaya yang sakral: penyerahan anak ku Tengku Guru.
Kegiatan ini diinisiasi oleh Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Bener Meriah. Melibatkan para pelaku budaya dan maestro bahasa Gayo seperti Turham, Ag., M.Pd., Munawir Arloti, S.Hi., dan budayawan Hamdani, prosesi tersebut menjadi lebih dari sekadar tradisi; ia menjadi pernyataan nilai, pengikat moral, dan refleksi tanggung jawab bersama dalam dunia pendidikan.
Wakil Bupati Bener Meriah, Ir. H. Armia, hadir mewakili Ulu Rintah — kepala pemerintahan adat Bener Meriah. Di hadapan ratusan hadirin, ia menyaksikan momen yang menyatukan orang tua dan guru dalam satu ikatan moral dan budaya. Kepala Sekolah SD Negeri 1 Pante Raya, Hamni Ayu, S.Pd.SD., M.Pd., dalam sambutannya menjelaskan bahwa ini adalah pertama kalinya sekolah tersebut menggelar prosesi penyerahan anak ku Tengku Guru. Menurutnya, ini bukan hanya tentang adat, tapi tentang membangun rasa tanggung jawab kolektif. “Acara ini adalah bentuk sakral dari keterikatan dan rasa dalam peran bersama antara orang tua sebagai wali dan guru di sekolah,” ujarnya.
Saat ini, SD Negeri 1 Pante Raya memiliki 467 siswa, termasuk 83 murid baru untuk tahun ajaran 2025/2026. Bagi para murid baru itulah prosesi adat ini digelar, sebagai penanda bahwa mereka kini berada dalam lindungan dan bimbingan para guru, dengan restu dan tanggung jawab yang juga melekat pada orang tua.
Makna dari setiap perangkat adat dijelaskan secara mendalam oleh Turham, dosen IAIN Takengon sekaligus maestro bahasa Gayo. Beras dua liter, kata Turham, melambangkan kesejahteraan, menyiratkan kebutuhan akan penghargaan yang layak terhadap guru. Rotan ipiel yang dibelah empat menandakan ketegasan dan disiplin. Bagi budaya Gayo, rotan adalah lambang kekuatan dan perlindungan, termasuk kepada guru agar berani bersikap keras bila diperlukan. Jarum betelenting, yaitu jarum yang diikat benang dan dicucukkan ke kunyit, melambangkan tajamnya ilmu dan daya lekat pengetahuan yang diajarkan.
Sementara itu, kain putih sepanjang satu meter menjadi lambang kesucian. Anak-anak digambarkan sebagai lembaran putih yang kosong dan belum ternoda, menanti untuk diisi ilmu dan akhlak. Uang logam menjadi simbol tanggung jawab wali dalam pembiayaan pendidikan, di luar bantuan operasional dari negara. Adapun pulut putih yang ditaburi kelapa dan gula mengandung makna perekat silaturahmi, manisnya hubungan antara anak, guru, dan orang tua. Terakhir, alat-alat petawaran digunakan dalam peusijuek, menggambarkan keharmonisan dan kesejukan jiwa dalam dunia pendidikan.
Mewakili para wali murid, Munawir Arloti (40) menyampaikan nasihat dan wejangan kepada para siswa, dalam bahasa adat. Ia menekankan bahwa guru di sekolah adalah pengganti orang tua di rumah. Anak-anak diminta untuk menghormati guru sebagaimana mereka menghormati ibu dan ayah sendiri. Prosesi kemudian dilanjutkan dengan penyerahan simbolis anak kepada guru, disampaikan menggunakan bahasa adat oleh orang tua, dan diterima langsung oleh kepala sekolah, Hamni Ayu, juga dengan bahasa adat. Suasana menjadi haru, namun juga membuncah rasa bangga.
Plt. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bener Meriah, Saidi M. Nurdin, M.Pd., menyambut baik inisiatif ini. Ia berharap prosesi adat penyerahan anak ku Tengku Guru bisa menjadi agenda tahunan di semua satuan pendidikan di wilayahnya. Bahkan, ia mendorong agar kegiatan ini dituangkan dalam bentuk regulasi resmi, seperti surat edaran dinas pendidikan atau Peraturan Bupati. “Kita perlu menjadikan budaya sebagai fondasi pendidikan. Di situlah karakter anak dibentuk,” ujarnya.
Wakil Bupati Ir. Armia dalam arahannya mengajak para orang tua untuk kembali merefleksikan semangat pendidikan masa lalu. Ia menyebutkan bahwa ada tiga nilai utama yang diwariskan leluhur dalam menyekolahkan anak: semangat pendidikan, semangat agama, dan semangat budaya. Ketiganya, menurutnya, harus dihidupkan kembali. “Jangan serahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah. Orang tua tetap yang utama. Apalagi dengan berkembangnya media sosial dan maraknya isu seperti kekerasan terhadap anak, pelecehan seksual, LGBT, hingga geng motor,” katanya.
Ia menyesalkan bahwa saat ini pengawasan terhadap anak seringkali longgar, terutama di luar jam sekolah. Karena itu, ia meminta semua pihak — orang tua, guru, tokoh masyarakat — untuk bersama-sama menjaga dan mengawasi anak-anak, baik di rumah maupun di sekolah. “Jangan biarkan anak-anak kita tumbuh tanpa arah. Pendidikan bukan hanya soal nilai ujian, tapi soal nilai kehidupan,” tegasnya.
Hadir dalam acara tersebut Bunda PAUD Ny. Meutia Fauziah Tagore, Pokja PAUD Ny. Dr. Puspitawati Inen Melati, Kabid Kebudayaan Yusri, S.Pd., Plt. Kabid PAUD Armi Sunardi, S.Pd., Kabid Dikdas Edi Asmara, S.Pd., Kapolsek, Danramil, Reje Kampung, Komite Sekolah, para dewan guru, dan seluruh orang tua wali murid.
Prosesi ini menjadi contoh nyata bahwa pendidikan dan budaya tidak bisa dipisahkan. Di tengah arus modernisasi dan tantangan zaman, SD Negeri 1 Pante Raya mencoba menegaskan kembali akar mereka — bahwa mendidik anak bukan hanya tugas guru atau program pemerintah, tetapi panggilan budaya, moral, dan kebersamaan. Sebab dalam adat Gayo, anak bukan sekadar pelajar — mereka adalah amanah yang diserahkan, dibentuk, dan dikembalikan ke masyarakat sebagai manusia seutuhnya. (RED)