BARANEWS | Setiap tahun, jutaan umat Muslim dari berbagai penjuru dunia menunaikan ibadah haji, salah satu rukun Islam yang memiliki makna spiritual sangat dalam. Di antara rangkaian ibadah yang dijalankan, mabit di Muzdalifah menjadi momen yang sangat istimewa—bukan hanya sebagai ritual fisik, tetapi sebagai pengalaman spiritual yang mampu menyentuh hingga ke lapisan terdalam jiwa manusia. Malam di Muzdalifah, yang dilalui di bawah langit terbuka tanpa sekat, menjadi saksi bisu dari persatuan umat dan ketulusan hati dalam menyerahkan diri kepada Sang Pencipta.
Artikel “Malam di Muzdalifah; Tidur yang Dirindukan Jiwa dan Langit” karya Merza Gamal mengisahkan pengalaman pribadinya menjalani mabit di Muzdalifah yang sarat dengan makna. Dalam kesederhanaan yang ekstrim, penulis merasakan kedamaian dan keheningan yang sulit didapatkan di dunia yang penuh kebisingan dan hiruk-pikuk. Kesunyian malam itu tidak terasa menakutkan, melainkan mengundang ketenangan batin dan memperkuat ikatan spiritual dengan Allah. Kisah ini membuka wawasan bahwa mabit bukan sekadar tidur biasa, tetapi sebuah latihan spiritual yang mendidik jiwa untuk ikhlas, sabar, dan pasrah.
Pengalaman mabit di Muzdalifah juga mengingatkan kita pada nilai universal kemanusiaan yang terkandung dalam ibadah haji. Jutaan manusia dengan latar belakang berbeda, bahasa yang beragam, budaya yang unik, tetapi bersatu dalam kesamaan mengenakan kain ihram—simbol kesederhanaan dan persamaan. Dalam kesatuan itulah kita belajar bahwa segala perbedaan duniawi tidak ada artinya di hadapan Tuhan. Semua sama, hanya jiwa yang berdiri di bawah langit malam, menghadap kepada Allah dengan hati yang tulus.
Dalam konteks kehidupan modern saat ini, di mana kemewahan dan kenyamanan materi sering dijadikan tolok ukur kebahagiaan, mabit di Muzdalifah mengajarkan kita untuk kembali pada esensi kehidupan yang sejati. Bahwa kedamaian hati dan kedekatan dengan Tuhan tidak bisa dibeli dengan uang atau fasilitas mewah. Malam di Muzdalifah mengingatkan kita bahwa dalam kesederhanaan ada keindahan dan kekuatan yang luar biasa. Pengalaman spiritual itu tidak tergantung pada kenyamanan fisik, tetapi pada kualitas hubungan hati dengan Sang Pencipta.
Refleksi ini sangat relevan untuk kehidupan sehari-hari. Kita sering terjebak dalam tuntutan duniawi—karier, status sosial, harta benda—hingga lupa bahwa jiwa kita pun perlu makan rohani yang berasal dari ketenangan dan keikhlasan. Seperti malam di Muzdalifah yang sunyi dan penuh doa, kita juga membutuhkan waktu untuk berhenti sejenak, menyendiri, dan meresapi makna keberadaan kita di dunia ini. Karena pada akhirnya, yang paling hakiki adalah bagaimana kita memaknai hubungan kita dengan Tuhan dan sesama manusia.
Selain itu, mabit di Muzdalifah juga mengajarkan nilai kesabaran dan ketahanan. Tidur di tanah lapang, dengan segala keterbatasan dan ketidaknyamanan, melatih kita untuk bersyukur atas segala nikmat dan menghadapi tantangan hidup dengan lapang dada. Pesan ini sangat penting di tengah masa pandemi dan krisis global yang melanda, di mana ketidakpastian dan kesulitan menguji keimanan dan kekuatan mental banyak orang.
Sebagai kesimpulan, malam di Muzdalifah bukan sekadar bagian dari rangkaian ritual haji, tetapi momen sakral yang mengajarkan banyak pelajaran hidup. Ia mengingatkan kita pada kesederhanaan, kesatuan umat, ketulusan hati, dan kekuatan spiritual yang melampaui segala bentuk kenyamanan fisik. Dalam keheningan malam itu, jiwa menemukan kedamaian dan harapan baru untuk menjalani hidup yang lebih bermakna, dengan iman yang kokoh dan hati yang terbuka.
Semoga pengalaman spiritual di Muzdalifah bisa menjadi inspirasi bagi kita semua untuk senantiasa memperkuat ikatan dengan Tuhan, menjaga persaudaraan, dan menjalani hidup dengan penuh kesadaran akan makna hakiki keberadaan manusia di dunia ini. (*)