Aceh Tenggara | Suasana pedalaman Aceh Tenggara berubah mencekam. Sejak Senin siang, enam warga ditemukan bersimbah darah dalam peristiwa pembunuhan berantai yang brutal dan tak terduga. Lima korban tewas di tempat, sementara satu lainnya yang sempat dirawat secara intensif di rumah sakit, akhirnya meninggal dunia karena luka parah. Pelaku berinisial P (25) masih diburu polisi. Diduga ia melarikan diri ke dalam hutan belantara yang telah lama menjadi tempat tinggalnya bersama ayah kandungnya.
Peristiwa ini mengguncang masyarakat. Tak hanya karena jumlah korbannya, tetapi juga karena pelaku dikenal memiliki hubungan kekerabatan dengan sebagian besar korban. Warga dan aparat setempat menyebut kasus ini sebagai tragedi paling kelam dalam sejarah kecamatan tersebut dalam dua dekade terakhir.
Kejadian berdarah itu bermula pada Senin, 16 Juni 2025, sekitar pukul 13.00 WIB, di Desa Uning Sigurgur, Kecamatan Babul Rahmah. Tanpa tanda-tanda sebelumnya, P mendatangi rumah dua anak, Laura (15 tahun) dan Pajri (4 tahun). Kedua anak itu diketahui masih memiliki hubungan keluarga dengan pelaku. Dengan senjata tajam yang dibawanya, P langsung menyerang keduanya secara membabi buta. Laura dan Pajri tewas di tempat dalam kondisi mengenaskan.
Tak lama berselang, pelaku bergerak ke rumah korban ketiga, Elviana (16 tahun). Ia juga dibacok di bagian kepala dan leher hingga meninggal dunia. Serangan berlangsung cepat, hanya dalam hitungan menit. Tiga nyawa muda melayang di desa yang selama ini dikenal tenang dan damai.
Namun amukan P belum berhenti. Sekitar pukul 13.30 WIB, ia menuju ke desa tetangga, Rambung Tubung, dan melakukan penyerangan lanjutan. Di sana, ia menyerang Matiah (45 tahun), Nayan Basri (50 tahun), dan Hidayat (27 tahun). Matiah dan Nayan tewas seketika di tempat kejadian akibat luka parah. Sedangkan Hidayat sempat diselamatkan warga dan dibawa ke RSU Sahuddin Kutacane. Sayangnya, luka di bagian kepala yang terlalu dalam membuat nyawanya tak tertolong. Ia dinyatakan meninggal dunia beberapa jam kemudian karena pendarahan hebat.
Enam korban, lima tewas di tempat, satu menyusul di rumah sakit. Pembantaian ini mengejutkan seluruh masyarakat Aceh Tenggara, termasuk aparat kepolisian yang langsung menerjunkan tim untuk mengejar pelaku dan mengamankan lokasi kejadian.
Dari hasil investigasi awal, diketahui bahwa pelaku tinggal bersama ayah kandungnya di dalam hutan wilayah Desa Kompas, Kecamatan Luser. Lokasi tempat tinggal mereka berada sejauh 4 kilometer dari pemukiman warga terdekat, tidak memiliki akses listrik, dan jauh dari jalur umum. Kehidupan mereka sangat tertutup. Warga bahkan menyebut mereka “tak tersentuh peradaban”. Pelaku dan ayahnya dikenal jarang, bahkan hampir tidak pernah, berinteraksi dengan masyarakat.
Banyak warga sebelumnya tidak mengetahui keberadaan pelaku secara jelas. Bahkan sempat muncul informasi keliru yang menyebutkan bahwa pelaku berdomisili di Desa Alurbaning. Namun informasi itu dibantah langsung oleh Penjabat Pengulu Desa Alurbaning. “Kami pastikan, pelaku bukan warga kami. Ia tinggal di hutan, tidak pernah bergaul dengan masyarakat desa,” jelasnya kepada wartawan.
Kasih Humas Polres Aceh Tenggara, AKP Johnson Silalahi, dalam konferensi persnya mengatakan bahwa pihaknya menduga kuat pelaku memiliki hubungan darah dengan sebagian besar korban. Namun demikian, motif pembunuhan masih belum bisa dipastikan. “Kami belum bisa menyimpulkan penyebabnya. Apakah karena masalah pribadi, dendam keluarga, atau gangguan psikologis. Semua masih dalam penyelidikan,” ujarnya.
Polisi saat ini mengerahkan tim gabungan dari Satreskrim Polres Aceh Tenggara, Brimob, dan Bhabinkamtibmas, dengan bantuan warga dan aparat desa setempat untuk menyisir kawasan hutan yang luas dan sulit diakses. Medan yang berat dan tidak adanya sinyal telekomunikasi membuat pencarian menjadi sangat menantang. Polisi meyakini P masih berada di kawasan hutan dan belum keluar dari Aceh Tenggara.
Sementara itu, keluarga korban dan warga sekitar masih dibayangi trauma. Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara melalui Dinas Sosial telah mengirimkan tim psikolog untuk melakukan trauma healing, terutama kepada keluarga korban yang kehilangan anak, saudara, atau pasangan. Beberapa sekolah di wilayah terdampak sempat diliburkan karena kekhawatiran orang tua terhadap kondisi keamanan.
Kasus ini memunculkan banyak pertanyaan: bagaimana seseorang yang dikenal tertutup dan nyaris tak pernah bersosialisasi bisa tiba-tiba meledak dalam aksi kekerasan masif? Apakah ada konflik lama dalam keluarga? Apakah pelaku memiliki riwayat gangguan jiwa? Hingga kini, jawaban-jawaban itu masih belum ditemukan. Polisi mengaku membutuhkan pelaku hidup-hidup untuk mengungkap semuanya.
Satu hal yang menjadi sorotan adalah lemahnya kontrol sosial dan pengawasan terhadap warga yang hidup di luar sistem permukiman formal. Hidup dalam keterasingan, tanpa interaksi sosial, tanpa akses pendidikan dan kesehatan, bukan hanya berisiko bagi mereka yang terisolasi, tetapi juga bagi lingkungan di sekitarnya. Masyarakat yang tertutup dan kehilangan hubungan dengan kehidupan sosial bisa menjadi bom waktu.
Kini, seluruh perhatian tertuju pada proses pengejaran pelaku. Di tengah duka mendalam yang dirasakan masyarakat, terselip harapan besar agar pelaku segera tertangkap, dan motif kejahatan ini segera terungkap. Aceh Tenggara belum pernah melihat tragedi seperti ini dalam skala yang begitu mengerikan. Dan masyarakat pantas untuk mendapatkan jawaban. (RED)