Oleh: Denny Satria
Pemerhati Media dan Kebijakan Publik.
Baru-baru ini, konflik antara pengusaha warung kopi di Aceh dan penyedia layanan siaran video.com sempat memanas. Intinya, warung-warung kopi dianggap melanggar hak siar karena menayangkan pertandingan sepak bola berbayar secara publik. Namun, permasalahan menjadi pelik ketika para pelaku usaha ini tidak mengetahui adanya regulasi yang mengatur hal tersebut.
Untungnya, konflik ini berhasil diredam setelah dimediasi oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Komisi A DPRA. Kedua pihak sepakat menyelesaikan persoalan secara damai, dengan komitmen ke depan untuk mengikuti prosedur legal yang ada. Video.com pun bersedia memberikan paket siaran dengan harga terjangkau bagi pelaku usaha kecil. Sebuah penyelesaian yang patut diapresiasi.
Namun ada satu elemen yang patut dikritisi secara serius dalam kisruh ini. Kehadiran Komisi Penyiaran Indonesia Aceh (KPI Aceh) yang baru terlihat setelah adanya laporan justru memperlihatkan kelemahan serius. Sebagai institusi yang dibentuk untuk mengawasi dan mendidik masyarakat dalam hal penyiaran, KPI Aceh seharusnya peka sejak awal terhadap praktik nonton bareng pertandingan sepak bola di warung kopi. Ini bukanlah fenomena baru, melainkan sudah menjadi budaya populer yang berlangsung bertahun-tahun.
Di sinilah KPI Aceh gagal memainkan perannya secara utuh. Tidak ada edukasi atau sosialisasi tentang pentingnya lisensi hak siar, terutama kepada pelaku usaha mikro seperti warung kopi. Akibatnya, banyak dari mereka tidak sadar bahwa kebiasaan mereka, yang bersifat kolektif dan kultural, dapat berbenturan dengan aturan hukum.
Tugas KPI bukan semata-mata mengawasi dan menghukum, tetapi juga menjembatani antara hukum penyiaran yang kompleks dan masyarakat yang awam. KPI Aceh seharusnya hadir lebih awal, menjadi pengarah yang proaktif, bukan hanya bereaksi saat konflik sudah terjadi. Apalagi dalam konteks Aceh, di mana warung kopi bukan sekadar tempat usaha, tetapi juga ruang sosial dan budaya.
Penyelesaian damai ini harus menjadi momentum perbaikan. KPI Aceh harus keluar dari sikap pasif dan mulai mendekati masyarakat, khususnya pelaku ekonomi kreatif skala kecil. Regulasi tidak bisa ditegakkan hanya dengan sanksi, tetapi juga dengan pemahaman. Sosialisasi harus menjadi program utama KPI Aceh agar tidak ada lagi yang terjebak dalam ketidaktahuan.
Karena pada akhirnya, secangkir kopi yang dinikmati bersama di warung pinggir jalan menyimpan lebih banyak makna sosial daripada sekadar tayangan bola. Lembaga negara seperti KPI pun harus mampu hadir di ruang-ruang kecil seperti itu, bukan hanya di meja rapat atau layar siaran.(*)
Tentang Penulis:
Denny Satria adalah penulis dan pemerhati isu media, komunikasi publik, dan kebijakan sosial di Aceh. Aktif menulis opini di berbagai platform lokal.