Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
NEGERI ini seolah sedang memasuki babak sejarah yang pernah digambarkan dalam kisah-kisah lama, dimana masa ketika nilai-nilai kebenaran bukan lagi berpijak pada moralitas, melainkan ditentukan oleh siapa yang memegang kekuasaan. Banyak orang menyebutnya sebagai zaman kolobendu, sebuah era di mana kebatilan menjadi wangi yang lazim dihirup masyarakat. Di ruang-ruang kekuasaan, dari pemerintahan hingga lembaga penegak hukum, praktik transaksi kepentingan, patronase politik, dan komersialisasi jabatan tumbuh subur. Dalam keadaan seperti ini, orang-orang yang jujur justru dipinggirkan, bahkan dicurigai, sementara mereka yang lihai menundukkan nilai demi kekuasaan justru melaju tanpa hambatan.
Nama Hoegeng Imam Santoso menjadi cermin paling terang untuk memahami bagaimana kejujuran pernah dianggap ancaman oleh sistem. Hoegeng, Kapolri yang dikenal sederhana, bersih, dan berani menolak intervensi kekuasaan, memilih tegak di atas prinsip bahwa hukum adalah penuntun tertinggi. Keberaniannya mengungkap skandal yang melibatkan kroni penguasa membuatnya tersingkir secara halus atas nama peremajaan institusi. Ironisnya, penggantinya justru lebih tua darinya. Hoegeng tidak kalah, ia dikalahkan, bukan karena kurang kompetensi, tetapi karena kejujuran tidak dapat dinegosiasikan dalam sistem yang menjadikan kekuasaan sebagai altar penyembahan. Sejarah kemudian mencatat namanya bukan sebagai korban, tetapi sebagai simbol nilai yang tak runtuh meski disingkirkan.
Zaman bergerak, reformasi datang membawa harapan bahwa hukum akan kembali memerintah di atas segala kepentingan politik. Namun harapan itu perlahan memudar, terutama ketika Jenderal Listyo Sigit Prabowo menduduki jabatan Kapolri. Ia naik ke posisi tertinggi kepolisian bukan hanya melalui jenjang struktural, tetapi melalui kedekatan personal dan loyalitas politik. Polri di era kepemimpinannya berjalan seiring dengan kepentingan kekuasaan eksekutif. Penegakan hukum cenderung selektif, kritik kepada pemerintah sering kali diperlakukan sebagai ancaman politik, dan hukum menjadi fleksibel untuk kepentingan kelompok tertentu. Dalam situasi ini, loyalitas kepada penguasa menjadi lebih bernilai daripada loyalitas kepada keadilan.
Fenomena ini memperlihatkan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar ketimpangan institusional. Ia menunjukkan pembusukan nilai yang berlangsung perlahan namun pasti. Korupsi tidak lagi dilihat sebagai kejahatan moral, melainkan sebagai bagian dari strategi bertahan dalam sistem. Jabatan publik tidak dipahami sebagai amanah, tetapi sebagai panggung bagi akumulasi privilese. Mereka yang menolak mengikuti arus bukan hanya dianggap asing, tetapi juga dianggap berbahaya. Kejujuran menjadi mata uang yang tak laku dalam pasar kekuasaan yang sibuk memperdagangkan kepatuhan dan kedekatan.
Namun sejarah selalu menyisakan ruang bagi kebenaran untuk bertahan. Kejujuran Hoegeng tidak pernah hancur, meskipun kekuasaan mencoba menyingkirkannya. Sebaliknya, kekuasaan yang dibangun di atas loyalitas semu tidak pernah benar-benar kokoh. Ia mungkin dapat menguasai hukum, tetapi ia tidak akan pernah menguasai hati sejarah dan nurani publik. Seberapa kuat kekuasaan dipertahankan, ia tetap akan diuji oleh waktu; sementara sekecil apa pun nilai kejujuran, ia akan terus menjadi cahaya yang menunjukkan arah.
Mengingat Hoegeng hari ini bukan semata tindakan romantisme moral. Ia adalah pengingat keras bahwa bangsa ini hanya bisa diselamatkan oleh keberanian untuk menegakkan keadilan, bukan oleh kepatuhan terhadap kekuasaan. Jika loyalitas terus dipertuhankan dan kejujuran terus dikorbankan, maka negara ini hanya akan berjalan menuju pengulangan luka yang sama. Tetapi jika teladan Hoegeng tidak sekadar dikenang, melainkan dihidupkan kembali dalam praktik penegakan hukum, maka masih ada peluang bagi negeri ini menemukan jalan pulangnya menuju martabat yang pernah dijanjikan.













































