Jakarta | Sudah lebih dari setengah tahun sejak mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL). Penetapan tersangka dilakukan oleh penyidik Polda Metro Jaya pada 22 November 2023, setelah gelar perkara yang dilakukan menyusul laporan masyarakat melalui laporan model A oleh kepolisian. Namun hingga Mei 2025, perkara ini belum menunjukkan perkembangan berarti dan berkasnya tak kunjung dinyatakan lengkap (P21) oleh pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Dugaan tindak pidana korupsi ini dilaporkan berdasarkan indikasi pemerasan yang terjadi dalam rentang waktu tahun 2020 hingga 2023, saat Firli masih menjabat Ketua KPK. Pada 9 Oktober 2023, penyidik menggeledah rumah pribadi Firli di Villa Galaxy, Bekasi, dan menyita sejumlah barang bukti, termasuk dokumen dan barang elektronik. Firli kemudian dipanggil dan diperiksa sebagai saksi selama lima jam pada 24 Oktober 2023, dan dia membantah melakukan pemerasan.
Usai gelar perkara pada 22 November 2023, penyidik menyatakan telah mengantongi cukup bukti untuk menetapkan Firli sebagai tersangka. Ia dijerat dengan Pasal 12 huruf e, Pasal 12B, dan/atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman maksimal pidana penjara seumur hidup dan denda hingga Rp 1 miliar. Pada 24 November 2023, Dewan Pengawas KPK juga mengumumkan bahwa Firli diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Ketua KPK.
Namun sejak itu, proses hukum terkesan lambat. Berkas perkara tahap pertama dikirimkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada 14 Desember 2023, tetapi dikembalikan pada 28 Desember 2023 karena dianggap belum lengkap secara formil dan materiil. Berkas diperbaiki dan dikirim kembali oleh penyidik pada 24 Januari 2024, namun kembali dikembalikan oleh jaksa pada awal Februari 2024 dengan sejumlah petunjuk tambahan.
Hingga awal Maret 2024, pihak Polda Metro Jaya belum juga mengembalikan berkas kepada kejaksaan, dan informasi resmi dari penyidik mulai irit disampaikan ke publik. Bahkan pada 1 Maret 2024, perwakilan Polda Metro Jaya hanya menyatakan proses masih berjalan tanpa merinci kendalanya. Saat ditanya kembali oleh awak media, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak menjawab bahwa pihaknya masih menyempurnakan berkas berdasarkan petunjuk jaksa.
Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto pada 26 Desember 2024 menyampaikan bahwa proses penyidikan dipantau langsung olehnya dan berjanji akan merampungkan perkara dalam waktu satu hingga dua bulan. Tetapi hingga 22 Mei 2025, janji itu belum ditepati dan berkas belum juga P21. Sementara itu, Firli belum pernah ditahan sejak awal kasus berjalan. Ini memicu kritik publik yang menilai adanya ketimpangan perlakuan hukum, mengingat status tersangka yang disandang Firli sudah berjalan berbulan-bulan.
Di sisi lain, kuasa hukum Firli, Ian Iskandar, telah mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 28 November 2023, dengan dalih bahwa penetapan tersangka tidak sah karena belum didahului pemeriksaan sebagai calon tersangka. Namun hingga pertengahan 2025, belum ada putusan yang menyelesaikan sengketa hukum praperadilan tersebut secara definitif.
Penanganan kasus ini menuai sorotan tajam dari masyarakat dan pegiat antikorupsi. Banyak pihak menilai bahwa lambannya penyidikan menunjukkan gejala impunitas terhadap tokoh-tokoh penting di sektor hukum. Mantan Ketua KPK yang sebelumnya menjadi simbol pemberantasan korupsi kini justru tersandung dugaan korupsi dan penanganannya dinilai tak mencerminkan prinsip keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum.
Kasus Firli Bahuri bukan hanya soal dugaan pidana korupsi, melainkan juga ujian nyata terhadap integritas sistem penegakan hukum di Indonesia. Ketiadaan kejelasan waktu dan tidak adanya upaya tegas dari pihak kepolisian dan kejaksaan memperkuat persepsi publik tentang lemahnya komitmen lembaga penegak hukum ketika harus berhadapan dengan elite institusi mereka sendiri.
Jika proses ini terus berjalan tanpa arah dan kejelasan, bukan tidak mungkin kepercayaan publik terhadap lembaga penegakan hukum akan tergerus semakin dalam. Keadilan yang tertunda terlalu lama pada akhirnya bisa menjadi keadilan yang disangkal. (REDAKSI)