HGU PT Laot Bangko Bermasalah: Derita Warga Penanggalan di Tengah Ladang Sawit dan Janji yang Tak Terpenuhi

Redaksi Bara News

- Redaksi

Senin, 9 Juni 2025 - 20:51 WIB

50372 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Subulussalam – Aceh.|  Di tengah hamparan sawit milik PT Laot Bangko yang membentang di Kecamatan Penanggalan, Subulussalam, tersimpan kisah getir tentang konflik agraria yang telah berlangsung bertahun-tahun. Perusahaan yang mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) ini dituding mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, menguasai lahan secara sepihak, dan gagal menjalankan tanggung jawab sosial sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan.

Masyarakat yang hidup berdampingan dengan lahan HGU tersebut terus menanti penyelesaian yang adil. Namun, hingga kini, mereka hanya disuguhi janji dan prosedur yang tidak berpihak.

Paret Gajah dan Luka Lama yang Menganga

Ketegangan kembali menguat ketika proyek pembangunan saluran air yang dikenal sebagai “Paret Gajah” dimulai. Alih-alih membawa solusi, proyek ini justru membuka kembali luka konflik yang belum sembuh. Tanah milik warga—baik yang sudah memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT), akta jual beli, maupun sertifikat hak milik (SHM)—diduga ikut dicaplok dalam proyek ini.

Yang lebih miris, masyarakat yang belum memiliki dokumen legalitas tanah formal juga terdampak. Mereka terusir dari tanah yang secara turun-temurun mereka garap, tanpa adanya ganti rugi maupun proses musyawarah.

Hal ini memperkuat dugaan adanya cacat hukum dalam proses perolehan maupun perpanjangan HGU PT Laot Bangko, baik secara prosedural maupun substansial.

LSM dan Tokoh Masyarakat Angkat Bicara

Anton Tinendung, pimpinan LSM Suara Putra Aceh, menjadi salah satu suara vokal yang menyoroti kejanggalan ini. Dalam sebuah rapat antar kampong yang digelar di Kecamatan Penanggalan dan dihadiri tokoh-tokoh seperti Denni Bancin, Rinto Berutu, serta perwakilan keturunan Pertaki Jontor, ia menyampaikan kritik keras terhadap sikap perusahaan.

“Perusahaan seharusnya tidak memaksakan pemanfaatan lahan yang masih bersengketa. Apalagi, akses jalan pun dibangun melewati wilayah warga, bukan oleh inisiatif mereka sendiri. Ini jelas pelanggaran prinsip FPIC,” ujarnya, merujuk pada prinsip Free, Prior and Informed Consent.

Prinsip FPIC sendiri telah diakui dalam berbagai instrumen HAM internasional dan seharusnya menjadi standar dalam proyek yang menyangkut masyarakat adat atau lokal.

Plasma 20 Persen: Janji Manis yang Tak Pernah Terealisasi

Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 18 Tahun 2021, perusahaan perkebunan skala besar yang menguasai HGU diwajibkan menyediakan kebun plasma minimal 20% dari luas total konsesi kepada masyarakat lokal. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain.

Hingga saat ini, masyarakat Penanggalan tidak mengetahui keberadaan plasma yang dijanjikan itu. Tidak ada kejelasan siapa yang menjadi penerima manfaat, bagaimana prosesnya, apalagi laporan akuntabel dari perusahaan.

“Tidak ada transparansi. Semua tertutup. Bahkan kami tak pernah diajak rapat atau dilibatkan dalam perencanaan,” ujar salah seorang warga yang enggan disebut namanya.

CSR yang Hanya Seremonial

Persoalan lain yang menjadi sorotan adalah tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR. Menurut warga, kegiatan CSR PT Laot Bangko tidak pernah menyentuh akar persoalan masyarakat.

Program CSR hanya muncul dalam bentuk bantuan sesaat seperti sembako saat lebaran atau peringatan hari besar nasional. Tidak ada program berkelanjutan yang menyasar pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.

“CSR itu bukan alat pencitraan. Tapi yang dilakukan PT Laot Bangko sejauh ini hanya lip service,” tegas Anton Tinendung.

Padahal, dalam Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007, perusahaan yang mengelola sumber daya alam diwajibkan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Ancaman Pembatalan HGU

Jika pelanggaran-pelanggaran ini terus dibiarkan, maka secara hukum, HGU PT Laot Bangko dapat dibatalkan. Ketentuan ini telah diatur dalam peraturan agraria dan perkebunan, yang menyebut bahwa pemegang HGU harus memenuhi kewajiban sosial dan administratif sebagai prasyarat keberlanjutan izin.

LSM Suara Putra Aceh pun menyatakan siap mengawal upaya hukum dan menggagas gugatan kolektif terhadap perusahaan. Inisiatif ini juga mendapat dukungan dari masyarakat adat dan kelompok tani di Penanggalan.

“Kami tidak ingin berkonflik, tapi tanah ini adalah kehidupan kami. Kalau terus dikuasai tanpa kompromi, maka perlawanan adalah keniscayaan,” kata Denni Bancin, tokoh pemuda Penanggalan.

Gambaran Buram Tata Kelola Perkebunan

Kasus PT Laot Bangko menjadi potret buram tata kelola HGU di Indonesia. Alih-alih menjadi motor pembangunan, HGU justru menjadi sumber konflik dan ketidakadilan, terutama ketika pengusaha rakus berselingkuh dengan kelambanan birokrasi dan lemahnya penegakan hukum.

Masyarakat Kecamatan Penanggalan kini menunggu: apakah negara akan berdiri bersama rakyatnya, atau kembali memihak pada korporasi yang hanya tahu cara mengeruk dan meninggalkan.


Catatan Redaksi:
Tim investigasi akan terus memantau dan mengawal perkembangan kasus ini, termasuk proses hukum dan advokasi masyarakat.

Berita Terkait

Dugaan Penyalahgunaan Wewenang Kasi PMD Longkib: Pembuatan APBDes Dikenai Pungutan Liar, Perlu Atensi Hukum
Kapolsek Runding IPTU A. Situmorang Dijuluki ‘Kapolsek Rakyat’ Berkat Pendekatan Humanis di Tengah Masyarakat
Aksi Damai Aliansi Masyarakat Peduli Buruh dan Tani: Tolak Pemberhentian PT MSB II, Cari Solusi yang Lebih Baik
Longkib Bersiap Jadi Tuan Rumah MTQ Ke-9 Subulussalam: Antara Kebanggaan Daerah dan Tekad Mewujudkan Generasi Qur’ani
H. UMA Tanggapi Kisruh HGU PT Laot Bangko: DPD RI Serap Aspirasi Masyarakat Penanggalan
Manajer PT Laot Bangko Diduga Berbohong Soal Paret Gajah dan HGU, Masyarakat Desak Audit Menyeluruh
Upacara Khidmat Peringatan Hari Pancasila di Kota Subulussalam: Menguatkan Nilai Dasar Bangsa di Tengah Tantangan Zaman
Tragedi Petang di Dano Tras: Dua Keluarga Terlunta Akibat Kebakaran Hebat, Tempat Tinggal dan Harapan Hangus Dalam Sekejap