https://youtu.be/Gim–luwL5I
JAKARTA — Polemik soal gaji fantastis anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kembali menyedot perhatian publik. Angka yang beredar di ruang digital mencapai Rp100 juta per bulan, bahkan menurut perhitungan lembaga riset anggaran bisa lebih dari Rp230 juta per bulan. Situasi ini memicu kritik keras dari masyarakat yang merasa wajar bila kemarahan mereka memuncak, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD ikut menanggapi kegaduhan ini. Dalam siaran di kanal YouTube resminya, Selasa (26/8/2025), Mahfud yang pernah menjadi anggota DPR periode 2004–2009 mengungkap bahwa angka Rp230 juta per bulan justru masih jauh lebih kecil dibanding kenyataan di lapangan. Ia menyebut, selain gaji dan tunjangan resmi, anggota dewan memiliki banyak sumber pendapatan lain yang tidak masuk dalam rincian edaran Setjen DPR.
“Kalau cuma Rp230 juta sebulan, menurut saya kecil. Saya mendengar ada yang miliaran per bulan. Itu pun baru hitungan gaji rutin. Belum uang reses, kunjungan, sampai insentif pembahasan undang-undang,” kata Mahfud. Ia menyinggung pada masanya setiap pembahasan satu undang-undang dihargai Rp5 juta per orang, ditambah biaya reses dan kunjungan ke daerah pemilihan.
Cerita pengalaman Mahfud menggambarkan betapa kompleksnya struktur pendapatan wakil rakyat. Pada tahun 2004, gaji pokoknya hanya Rp4,8 juta. Namun setelah ditambah tunjangan jabatan, rumah, transportasi, hingga keluarga, jumlahnya membengkak berkali lipat. Ia bahkan sempat kaget ketika melihat laporan mutasi rekening saat harus menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK.
“Ketika saya pindah ke MK, saya buka rekening koran, ternyata saldo saya jauh membesar. Padahal saya tidak pernah menghitung. Langsung saya pikir, wah ini kok saya jadi kaya raya,” ungkapnya.
Mahfud juga menyinggung soal tunjangan rumah yang ramai dipersoalkan publik. Ia bercerita, saat masih di DPR pada 2008, anggota hanya mendapat uang sewa rumah Rp12 juta per bulan. Kini angkanya melonjak menjadi Rp50 juta, yang menurutnya jauh melampaui logika kenaikan kurs dan inflasi.
Lebih jauh, Mahfud mengisahkan pernah ditawari perjalanan studi banding ke luar negeri meski sudah tak lagi menjabat anggota DPR. Tawaran itu ia tolak karena undang-undang yang dimaksud sudah selesai dibahas. “Itu gede lho uangnya. Sudah tiket bisnis, hotel mewah, uang saku dollar. Tapi saya coret, saya tidak mau,” tegasnya.
Dalam refleksinya, Mahfud menilai apa yang dulu pernah diungkap penyanyi sekaligus politisi Kris Dayanti lebih mendekati kebenaran. Kris pernah menyebut gaji dan tunjangan DPR bisa mencapai miliaran rupiah per bulan bila dihitung rata-rata. Pernyataan itu kala itu segera dibungkam rekan-rekannya di parlemen.
“Kalau masih ada anggota DPR yang korupsi, itu sudah keterlaluan. Gajinya besar sekali, fasilitasnya melimpah. Masa masih kurang juga?” ujar Mahfud.
Pernyataan Mahfud MD ini menambah panjang daftar kritik terhadap penghasilan jumbo para wakil rakyat. Bagi publik, kontroversi gaji DPR bukan semata soal angka, tetapi juga soal rasa keadilan dan kepatutan. Di tengah kebutuhan negara untuk berhemat dan menyalurkan anggaran pada sektor publik yang lebih mendesak, besarnya penghasilan anggota dewan kian terasa jomplang dengan kenyataan hidup masyarakat.
Perdebatan ini tampaknya belum akan mereda. Justru dengan pengakuan terbuka dari tokoh sekelas Mahfud MD, tekanan moral agar DPR melakukan transparansi dan pemangkasan tunjangan bisa semakin kuat. Bagaimanapun, sorotan publik jelas menuntut agar kursi rakyat tidak sekadar jadi jalan pintas menuju kekayaan, melainkan panggung untuk memperjuangkan kepentingan bangsa. (*)













































