ACEH TENGAH | Empat orang tersangka kasus tindak pidana perbankan ditahan oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Tengah setelah diduga kuat terlibat dalam praktik pembiayaan fiktif yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp34,8 miliar. Penahanan dilakukan usai pelimpahan tahap dua perkara dari penyidik kepolisian, melibatkan tersangka beserta barang bukti yang telah dikumpulkan selama proses penyidikan.
Keempat tersangka yakni AP (36), DP (33), AY (42), dan S (42), merupakan warga Kabupaten Aceh Tengah. Mereka akan menjalani penahanan selama 20 hari ke depan di Rumah Tahanan Kelas IIB Takengon guna mempermudah proses lanjutan perkara menuju tahap persidangan. Informasi ini disampaikan oleh Kepala Seksi Intelijen Kejari Aceh Tengah, Hasrul, yang menyatakan penahanan dilakukan demi kepentingan hukum dan agar proses penuntutan berjalan efisien.
Kasus yang membelit para tersangka bermula pada akhir 2018. Dalam kurun waktu sekitar lima tahun, hingga April 2024, mereka diduga menjalankan praktik pembiayaan dengan menciptakan ribuan nasabah fiktif di salah satu lembaga keuangan berbasis syariah, yakni PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Gayo. Di lembaga ini, para tersangka memiliki akses untuk mengatur proses-proses pembiayaan, yang kemudian dimanfaatkan secara sistematis untuk melancarkan tindak pidana mereka.
Modus yang digunakan terbilang rapi namun melawan hukum. Para tersangka dengan sengaja menyusun data dan dokumen palsu yang seolah-olah berasal dari pemohon pembiayaan. Untuk menciptakan ilusi bahwa pembiayaan tersebut diajukan oleh nasabah sungguhan, mereka memalsukan dokumen penting seperti KTP, buku nikah, serta keterangan pekerjaan. Pemalsuan dilakukan melalui berbagai perangkat digital, menggunakan aplikasi pengedit gambar untuk memodifikasi informasi sesuai kebutuhan fiktif mereka.
Hasil manipulasi identitas tersebut kemudian dijadikan lampiran dalam pengajuan pembiayaan ke bank. Seluruh proses, mulai dari administrasi hingga pencairan dana, dilakukan secara non-faktual, termasuk proses akad yang biasanya menjadi penanda sahnya transaksi keuangan syariah. Karena sistem perbankan saat itu menerima dan memproses permohonan tersebut tanpa deteksi kecurangan, ratusan akad pembiayaan berhasil dicairkan dengan total dana mencapai puluhan miliar rupiah.
Kejanggalan kasus ini mulai terkuak seiring peningkatan kredit macet di PT BPRS Gayo. Setelah dilakukan audit internal dan investigasi, ditemukan tidak adanya jejak keberadaan pihak yang mengajukan pembiayaan. Sebagian besar data pribadi yang ada di berkas pembiayaan ternyata tidak dapat diverifikasi. Dari temuan awal tersebut, penyidik mendalami aliran dana dan keterlibatan sejumlah pihak yang memiliki akses terhadap mekanisme pembiayaan di dalam bank.
Hasil penyidikan menyimpulkan bahwa terdapat 966 nasabah fiktif yang digunakan dalam kejahatan ini, dan seluruh dokumen mereka dimanipulasi oleh keempat tersangka. Pembiayaan macet dari akun-akun fiktif tersebut menyebabkan PT BPRS Gayo mengalami kerugian sebesar Rp34,8 miliar. Angka kerugian itu dihitung berdasarkan total pembiayaan yang belum dikembalikan karena ketidaksesuaian identitas dan tidak adanya subjek hukum nyata yang bertanggung jawab sebagai debitur.
Kini, para tersangka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan hukum. Kejari Aceh Tengah menyatakan akan segera melimpahkan perkara ini ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk proses penuntutan. Dalam waktu dekat, JPU juga akan menyusun surat dakwaan berdasarkan alat bukti dan hasil pemeriksaan untuk mendudukkan peran masing-masing tersangka secara rinci.
Pihak kejaksaan menegaskan bahwa perkara ini bukan hanya soal pelanggaran administratif dan prosedural, tetapi menyangkut kerugian negara dalam sektor perbankan dan kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan daerah. Selain itu, kasus ini memperlihatkan bagaimana sistem digital perbankan yang semestinya memperkuat keamanan transaksi justru dimanfaatkan oleh pelaku untuk menjalankan praktek manipulatif yang terorganisir.
Penyelidikan lebih lanjut juga masih terbuka, terutama untuk menelusuri apakah ada keterlibatan pihak lain di luar empat tersangka yang telah ditahan. Termasuk kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang atau kelalaian pengawasan dari pihak internal bank maupun oknum pegawai yang turut memfasilitasi aktivitas ilegal tersebut.
Sambil menunggu proses hukum bergulir di pengadilan, pihak berwenang menghimbau seluruh lembaga keuangan untuk memperketat pengawasan terhadap mekanisme internal pembiayaan. Ketelitian dalam verifikasi dan sistem audit berkala dinilai menjadi hal penting guna mencegah kejahatan serupa di masa mendatang. Sebab, dalam konteks daerah, dampak dari kerugian semacam ini bukan hanya menghantam satu institusi, tetapi turut mempengaruhi stabilitas ekonomi lokal dan distribusi pembiayaan ke sektor-sektor produktif masyarakat. (*)