Empat Pulau Jatuh ke Sumut, Mualem Bicara Kolaborasi: Aceh Butuh Pemimpin, Bukan Juru Damai

Redaksi Bara News

- Redaksi

Rabu, 4 Juni 2025 - 23:13 WIB

50301 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

BARANEWS | Empat pulau jatuh ke Sumatera Utara, dan para pemimpin memilih bicara kolaborasi. Ironis. Saat marwah Aceh dipertaruhkan, yang ditawarkan adalah wacana sinergi bukan sikap tegas membela tanah. Apakah kita sedang kehilangan arah, atau memang sudah lama kehilangan keberanian?

Hari ini, Mualem duduk bersama Gubernur Sumut membicarakan peluang dan potensi. Seolah-olah kita sudah rela, sudah selesai, dan tak lagi punya tekad untuk merebut kembali yang seharusnya milik kita. Padahal ini bukan sekadar urusan batas administrasi. Ini soal harga diri. Soal tanah, laut, dan identitas Aceh yang kian terkikis, sejengkal demi sejengkal.

Empat pulau itu bukan objek investasi. Bukan barang dagangan yang bisa dibagi hasil atau dikelola bersama untuk proyek jangka panjang. Ini adalah bagian dari tubuh Aceh, sejarahnya, dan hak atas wilayah yang diabaikan oleh pusat, lalu dilegalisasi melalui keputusan menteri. Dan kita “pemimpin dan rakyatnya” diharapkan diam dan bersikap “kolaboratif”?

Apa kita lupa bagaimana Aceh diberi janji dalam Perjanjian Helsinki 2005? Janji otonomi khusus yang hingga hari ini belum utuh ditepati. Kita disuruh tunduk, diberi ruang yang sempit untuk bernapas, dan perlahan tapi pasti, wilayah-wilayah kita diambil alih. Sekarang empat pulau. Besok siapa tahu apa lagi.

Dan lebih menyakitkan lagi, bukan hanya mereka yang mengambil, tapi kita sendiri yang membuka pintu. Atas nama kolaborasi. Atas nama kerja sama. Padahal saat tanah hilang, yang hilang bukan cuma peta tapi jati diri kita sebagai bangsa yang pernah menolak tunduk. Kita yang dulu dikenal sebagai “Nanggroe Teulebeh ateuh Rung Donya” kini nyaris tak berdaya bahkan dalam urusan mempertahankan pulau.

Apakah ini warisan yang akan kita serahkan kepada generasi Aceh berikutnya? Tanah yang dikebiri dan pemimpin yang membisu?

Sudah saatnya Aceh punya pemimpin, bukan juru damai. Damai tanpa keadilan adalah kepalsuan. Damai tanpa ketegasan hanyalah penundaan dari kehilangan yang lebih besar. Jangan biarkan sejarah mencatat bahwa kita kalah karena memilih diam. (*)

Berita Terkait

Potret Pemberatasan Korupsi di Indonesia “Kejarlah Daku, Kau Ku Sandera”
Raja Ampat Terancam: Siapa yang Akan Berdiri Membelanya?
PT. Socfindo Seumanyam Mendukung Program Ketahanan Pangan Satu Unit Excavator Diturunkan
Menteri dan Wakil Menteri PKP Kembalilah ke Jalan yang Benar!!!
Mualem Gubernur Aceh Dapat Gelang Batu Giok Dari TRK Bupati Nagan Raya
Pulau adalah Amanah, Idul Adha Mengajarkan Pengorbanan dan Persatuan Bangsa
Dua BUMN Plat Merah Terancam Jadi Bancakan Broker VIP
Ketua DPRK Nagan Raya Resmi Buka Raker RAPI Nagan Raya Tahun 2025