Oleh : Mayjen TNI (Purn) Teuku Abdul Hafil Fuddin, S.H., S.I.P., M.H
KEPUTUSAN Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menetapkan empat pulau di Aceh Singkil—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara, adalah sebuah langkah keliru dan mencederai prinsip keadilan administratif serta sejarah panjang integrasi wilayah Aceh.
Sebagai tokoh masyarakat dari kawasan Barat Selatan Aceh (Barsela), saya menolak keputusan tersebut karena bertentangan dengan sejumlah bukti shahih yang menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut sejak dahulu merupakan bagian dari wilayah Aceh.
* Bukti Historis dan Legal: Peta TNI AD Tahun 1978
Salah satu dasar paling kuat yang menegaskan keabsahan wilayah Aceh atas keempat pulau tersebut adalah Peta Topografi TNI Angkatan Darat Tahun 1978, yang diterbitkan oleh Badan Topografi Angkatan Darat Republik
Indonesia. Dalam peta resmi militer ini, keempat pulau tersebut ditandai secara jelas sebagai bagian dari administratif Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
Peta ini disusun berdasarkan kajian geospasial, pertimbangan keamanan nasional, dan kondisi faktual pada masa itu, menjadikannya dokumen otoritatif dalam persoalan batas wilayah. Maka menjadi aneh apabila tahun 2025, tanpa proses hukum terbuka, status wilayah tersebut justru dipindahkan ke provinsi lain.
* Fakta Administratif dan Infrastruktur
Pemerintah Aceh dan Kabupaten Aceh Singkil telah lama membangun infrastruktur pelayanan publik di pulau-pulau tersebut: dermaga, mushala, rumah singgah, hingga tugu penanda wilayah. Bahkan, dokumen administrasi atas aset-aset tersebut tercatat di dalam registrasi daerah sejak era 1960-an.
Tidak hanya itu, dalam surat kesepahaman batas wilayah antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara tahun 1992, yang disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, juga ditegaskan bahwa keempat pulau ini masuk dalam yurisdiksi Aceh.
* Kepentingan Strategis dan Masa Depan Barsela
Keempat pulau ini memiliki posisi strategis dalam pengembangan wilayah Barat Selatan Aceh, terutama di sektor ekonomi maritim, konservasi laut, dan potensi energi migas lepas pantai.
Kehilangan keempat pulau ini bukan hanya kehilangan aset geografis, melainkan kehilangan peluang besar untuk membangun wilayah dengan pendekatan berbasis laut (marine-based development), sebagaimana semangat pembangunan poros maritim nasional.
* Seruan Kepada Pemerintah Pusat dan Daerah
Kami mendesak Pemerintah Aceh untuk:
1. Mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi atas dasar maladministrasi keputusan wilayah;
2. Menggunakan Peta TNI AD 1978 dan dokumen kepemilikan aset daerah sebagai alat bukti;
3. Melakukan mobilisasi opini publik nasional dan internasional untuk mencegah preseden buruk pengikisan wilayah tanpa dasar hukum yang kuat;
4. Kami juga memohon kepada Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto untuk turun tangan meninjau kembali keputusan ini secara adil dan transparan.
* Menjaga Martabat dan Masa Depan Aceh
Pengikisan wilayah Aceh bukan hanya soal garis di atas peta—ini soal identitas, hak historis, dan martabat rakyat Aceh. Kami tidak ingin generasi mendatang mewarisi kehilangan ini karena kelalaian kita hari ini.
Aceh telah memberi segalanya untuk Republik ini. Kini, saatnya negara hadir untuk menjaga keutuhan dan kedaulatannya.
* Preseden Internasional: Sipadan dan Ligitan
Dalam hukum internasional, salah satu contoh yang relevan adalah sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia yang diputuskan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) pada tahun 2002. Dalam kasus ini, ICJ memberikan kedaulatan atas kedua pulau tersebut kepada Malaysia berdasarkan asas “efektivitas” (effectivités), yaitu bukti adanya tindakan nyata dan berkelanjutan oleh suatu negara atas wilayah yang disengketakan.
Malaysia memenangkan sengketa ini bukan karena faktor sejarah atau kedekatan geografis semata, melainkan karena mampu membuktikan bahwa negara tersebut telah melakukan pengelolaan secara nyata dan terus menerus terhadap wilayah tersebut, termasuk pembangunan infrastruktur, pengelolaan lingkungan, dan penyediaan layanan kepada masyarakat. Prinsip hukum internasional ini dapat dijadikan acuan dalam konteks penguasaan wilayah terhadap empat pulau di Aceh Singkil.
Pemerintah Aceh telah sejak lama membangun berbagai infrastruktur dasar, seperti tugu koordinat, dermaga, rumah singgah, dan mushala. Masyarakat lokal juga menjalankan aktivitas ekonomi dan sosial secara turun-temurun di wilayah tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan praktik internasional dan prinsip efektivitas yang diakui dunia, klaim administratif dan historis Aceh atas empat pulau tersebut semakin kuat. Tidak ada dasar hukum dan logika geografis yang membenarkan pengalihan wilayah tersebut ke provinsi lain, apalagi tanpa konsultasi publik dan proses hukum yang terbuka.
* Prinsip Hukum Internasional Terkait Kedaulatan Wilayah
Dalam konteks hukum internasional, pengakuan kedaulatan suatu negara atas wilayah tertentu, khususnya dalam sengketa batas wilayah, merujuk pada beberapa prinsip utama yang telah digunakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ). Prinsip-prinsip ini relevan untuk memperkuat klaim Aceh atas empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil yang kini dipersengketakan.
1. Prinsip Efektivitas (Effectivités) .ICJ menilai kedaulatan berdasarkan tindakan nyata dan terus-menerus yang dilakukan oleh suatu negara terhadap wilayah yang disengketakan. Ini meliputi pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, dan kehadiran administratif. Dalam kasus Sipadan–Ligitan (Indonesia vs. Malaysia, 2002), ICJ memutuskan kedaulatan berpihak pada Malaysia karena menunjukkan pengelolaan aktif, seperti pembangunan mercusuar dan regulasi pariwisata.
2. Prinsip Uti Possidetis Juris. Prinsip ini menyatakan bahwa batas wilayah administratif saat kemerdekaan harus dipertahankan. Jika keempat pulau tersebut telah menjadi bagian dari Aceh sejak masa kolonial atau awal kemerdekaan, maka prinsip ini memperkuat posisi Aceh dalam sengketa.
3. Tacit Agreement (Kesepakatan Diam-Diam). Jika satu pihak membiarkan pihak lain mengelola wilayah tanpa protes dalam jangka panjang, dapat dianggap menyetujui status tersebut. Dalam konteks ini, keberatan formal dari Aceh atas klaim Sumatera Utara menjadi sangat penting sebagai bentuk penolakan eksplisit.
4. Treaty Law (Perjanjian Administratif atau Internasional). Kesepakatan administratif antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara tahun 1992, yang disaksikan oleh Mendagri, dapat dikategorikan sebagai dasar kesepakatan batas wilayah yang sah.
5. Peaceful and Continued Display of Sovereignty. Penunjukan kedaulatan ditunjukkan melalui aktivitas damai dan berkelanjutan, seperti pelayanan publik, kegiatan masyarakat, pemilu, serta pembangunan infrastruktur. Pemerintah Aceh telah memenuhi unsur ini dengan membangun tugu
koordinat, dermaga, rumah singgah, dan mushala.
Dengan dasar hukum internasional tersebut, posisi Aceh atas keempat pulau menjadi sah dan kuat secara yuridis maupun moral. Tidak ada alasan hukum, historis, atau administratif yang dapat membenarkan pemindahan wilayah tersebut ke provinsi lain tanpa mekanisme hukum yang sah dan adil.
_Penulis adalah Mantan Pangdam Iskandar Muda, Pengamat Publik dan Tokoh Barat Selatan Aceh_