Kutacane | Bara News – Kepolisian Resor Aceh Tenggara menggelar konferensi pers resmi terkait pengungkapan kasus penganiayaan berat yang mengguncang Desa Uning Sigugur, Kecamatan Babul Rahmah, Kabupaten Aceh Tenggara. Peristiwa tragis yang terjadi pada Senin, 16 Juni 2025 itu, menelan korban jiwa sebanyak lima orang dan satu orang mengalami luka berat.
Konferensi pers ini digelar di Aula Mapolres Aceh Tenggara, Senin (24/6/2025), dipimpin langsung oleh Kapolres AKBP Yulhendri, S.I.K. Turut hadir dalam kegiatan ini Bupati Aceh Tenggara H. M. Salim Fakhri, S.E., M.M., Dandim 0108/Agara, perwakilan Kejaksaan Negeri, anggota DPRK, dan jajaran pejabat utama Polres seperti Kabag Ops dan Kasat Intelkam.
Namun bukan hanya soal kronologi dan motif, konferensi ini juga menarik perhatian publik karena detail barang bukti yang dipamerkan—menggambarkan bagaimana pelaku bertahan hidup selama pelarian yang penuh risiko dan menyusuri hutan lindung selama delapan hari.
Barang Bukti: Antara Peralatan Bertahan Hidup dan Alat Bukti Kejahatan
Dari hasil penangkapan terhadap tersangka A.S., warga Desa Pegunungan Kompas, polisi menyita sejumlah barang bukti yang mencerminkan sisi gelap dan getir dari pelariannya.
Di antara barang-barang tersebut terdapat satu bilah parang yang digunakan dalam aksi pembacokan yang menewaskan lima orang. Parang tersebut menjadi simbol kekerasan yang meninggalkan luka mendalam bagi keluarga korban dan warga sekitar.
Namun yang mengejutkan, polisi juga menyita barang-barang lain yang menyingkap kehidupan tersangka selama bersembunyi di tengah belantara. Di antaranya:
-
Sajadah merah – menjadi pertanyaan publik: apakah pelaku sempat melakukan perenungan atau justru pelarian spiritual selama diburu?
-
Ketapel kayu rakitan, pisau cutter, dan batu asah – menggambarkan persiapan pelaku menghadapi kerasnya hutan.
-
Botol berisi minyak tanah, panci kecil, dan lampu teplon – alat-alat ini digunakan pelaku untuk memasak seadanya di tengah pelarian.
-
Tas pinggang, goni kecil yang dijadikan tas ransel menggunakan karet ban, serta dua bungkus garam ukuran kecil – menandakan pelaku mempersiapkan perlengkapan bertahan hidup minimalis namun fungsional.
Selain itu, polisi juga menyita dua unit telepon seluler – satu HP Android Vivo Y15S yang dibalut dengan lakban hitam dan satu HP lipat merek Samsung – diduga digunakan pelaku untuk memantau situasi atau menghubungi pihak tertentu.
Pelarian 8 Hari Menyusuri Hutan Konservasi
Kapolres menjelaskan secara rinci bagaimana pelaku mencoba menghindari kejaran aparat. Usai melakukan penganiayaan, pelaku langsung melarikan diri ke kawasan hutan lebat, menempuh jalur ekstrem seperti Rambung Tubung, Tui Jongkat, hingga Pegunungan Salim Pinim.
“Seluruh lokasi pelarian berada dalam kawasan hutan lindung dan konservasi. Pelaku berpindah-pindah setiap malam, tidur di pondok-pondok kebun, dan hidup dengan alat-alat seadanya,” ujar AKBP Yulhendri.
Tersangka akhirnya tertangkap pada hari kedelapan pelariannya, tepatnya di Desa Kute Meujile, Kecamatan Tanoh Alas. Ia ditangkap tim gabungan dari Polda Aceh, Polres Aceh Tenggara, dan Polsek Babul Rahmah saat tengah berjalan menuju rumah pamannya pada Senin malam (24/6/2025) pukul 20.40 WIB. Penangkapan berlangsung tanpa perlawanan.
Motif Keluarga, Jeratan Hukum Berat Menanti
Kapolres mengungkap bahwa para korban memiliki hubungan darah dengan pelaku. Sebagian merupakan keponakan, dan bahkan adik kandung dari ibu tersangka. Meski begitu, motif pasti dari tindakan keji ini masih dalam penyelidikan lebih lanjut.
Untuk proses hukum, pelaku dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, serta Pasal 80 ayat (3) dari UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman yang menanti tidak main-main: pidana mati, seumur hidup, atau penjara maksimal 20 tahun.
“Kami serius dan berkomitmen penuh untuk menyelesaikan kasus ini secara profesional. Pelaku akan dihukum seberat-beratnya sesuai dengan hukum yang berlaku,” tegas Kapolres.
Penegakan Hukum dan Simpati kepada Korban
Dalam akhir pernyataannya, Kapolres menyampaikan duka mendalam kepada keluarga korban dan mengapresiasi masyarakat yang turut memberikan informasi penting selama proses pengejaran.
“Terima kasih kepada masyarakat yang ikut membantu kami dalam pelacakan. Tanpa informasi mereka, proses ini akan jauh lebih sulit,” ujar AKBP Yulhendri.
Kasus Uning Sigugur menjadi pengingat bahwa kekerasan dalam lingkup keluarga bisa berujung pada tragedi besar. Sementara itu, pihak kepolisian menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi pelaku kejahatan untuk bersembunyi, bahkan di belantara sekalipun.
Redaksi: Bara News