Jakarta – Ahli pemohon dalam sidang uji materi Undang-Undang Kepolisian, Suleman Ponto, menyampaikan argumen tajam di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK) soal praktik polisi aktif yang merangkap jabatan sipil. Dalam perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 itu, ia menyebut keberadaan ribuan polisi aktif di jabatan sipil telah menggerus hak warga sipil dalam memperoleh posisi di pemerintahan.
“Apakah ini menghilangkan kesempatan dari sipil? Ya, menghilangkan. 4.351 jabatan sipil diisi oleh polisi aktif. Itu artinya 4.351 orang sipil kehilangan peluang kerja,” ujar Suleman dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (15/9/2025).
Menurut mantan perwira tinggi TNI AL itu, para polisi aktif tidak seharusnya menempati jabatan struktural di kementerian/lembaga sipil karena mereka tetap terikat tugas dan etika kepolisian. Hal tersebut, kata dia, berpotensi memengaruhi netralitas dan independensi dari lembaga yang mereka duduki.
“Polisi tetap anggota aktif. Dia masih tunduk pada komando institusinya. Tapi di sisi lain mereka juga menjalankan fungsi pada kementerian atau lembaga lain. Ini menimbulkan konflik kepentingan,” ujarnya.
Suleman mencontohkan potensi ketimpangan apabila, misalnya, anggota Brimob yang ditempatkan di BUMN ikut terlibat dalam konflik agraria seperti di kebun sawit.
“Kita bisa terbayang bagaimana kalau Brimob ada di BUMN, kemudian harus berhadapan langsung dengan masyarakat. Ini menjadi tidak netral karena mereka berada dalam rantai komando lembaga yang punya kepentingan bisnis,” lanjutnya.
Perkara ini diajukan oleh pemohon bernama Syamsul Jahidin yang menggugat Pasal 28 Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Pemohon keberatan dengan praktik polisi aktif menduduki jabatan di luar struktur Polri, seperti Ketua KPK, Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, atau Sekjen kementerian tertentu tanpa harus mundur dari statusnya sebagai aparat.
Menurut pemohon, norma dalam pasal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan membuka peluang besar terjadinya dwifungsi Polri, di mana aparat tak hanya mengurus keamanan negara, tapi juga dilibatkan dalam birokrasi dan politik pemerintahan.
Masalah ini juga dinilai berimplikasi serius terhadap meritokrasi dan keadilan dalam pengisian jabatan publik. Warga sipil dengan latar belakang pendidikannya merasa tertutup peluangnya karena jabatan yang seharusnya terbuka melalui proses seleksi ASN diserahkan begitu saja ke aparat aktif.
“Norma pasal ini membuat banyak komunitas profesional merasa diabaikan. Sementara itu, ada aparat negara yang bisa menyeberang antarperan tanpa proses hukum administratif namun tetap bergaji dan menerima fasilitas dari dua sisi,” jelas Suleman.
Ia juga menyinggung kemungkinan gaji ganda yang didapat polisi aktif yang rangkap jabatan. Fenomena ini pernah jadi perbincangan publik dalam sidang-sidang sebelumnya dan memperkuat asumsi akan adanya konflik kewajiban institusional.
Sidang uji materi UU Polri ini pun kembali membuka wacana penting terkait kejelasan batas fungsi dan kewenangan aparat keamanan di tengah sistem pemerintahan sipil. Para pihak berharap Mahkamah Konstitusi bisa menimbang aspek keadilan dan nilai-nilai konstitusional dalam memutus perkara ini.
“Ini bukan soal sekadar jabatan, tapi soal fair competition dalam pelayanan publik dan perlakuan hukum yang sama kepada warga negara,” tutup Suleman. (*)