Jakarta – Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, menyatakan secara tegas bahwa empat pulau yang saat ini diperebutkan antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara secara sah dan historis merupakan bagian dari wilayah Aceh. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.
Jusuf Kalla menyampaikan hal itu saat diwawancarai di kediamannya pada Jumat, 13 Juni 2025. Menurutnya, keberadaan keempat pulau tersebut dalam wilayah Aceh sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh serta perubahan peraturan pembentukan Provinsi Sumatera Utara.
“Wilayah Aceh itu termasuk kabupaten-kabupatennya dibentuk dengan UU Nomor 24 Tahun 1956. Jadi, kalau mau mengubah status pulau-pulau tersebut, maka harus direvisi lewat Undang-Undang, bukan hanya keputusan menteri,” ujar Jusuf Kalla.
Ia menegaskan bahwa status undang-undang memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dibanding Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menyatakan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Lebih lanjut, Jusuf Kalla mengungkapkan bahwa masyarakat yang tinggal di pulau-pulau tersebut selama ini secara administratif dan pajak terikat ke Kabupaten Aceh Singkil, bukan ke wilayah Sumatera Utara. “Warga di sana selama ini membayar pajak ke Aceh Singkil. Nanti akan ada bukti-bukti pajak yang menunjukkan bahwa pulau-pulau itu masuk wilayah Aceh,” tambahnya.
Pernyataan Jusuf Kalla memperkuat posisi Pemerintah Provinsi Aceh yang sejak awal menolak keputusan Kemendagri. Pemerintah Aceh bersikukuh bahwa pengalihan keempat pulau itu ke wilayah Sumut dilakukan secara sepihak dan tidak berdasar pada hukum yang berlaku.
Dalam penjelasan sebelumnya, pihak Kemendagri mengklaim bahwa penetapan wilayah administratif dilakukan berdasarkan hasil pemutakhiran kode wilayah serta verifikasi dari data geografis. Namun, Pemerintah Provinsi Aceh menolak klaim tersebut dan mengajukan sejumlah bukti historis dan administratif yang menguatkan bahwa empat pulau tersebut merupakan bagian sah dari Aceh.
Di antaranya adalah SK Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh Nomor 125/IA/1965 tertanggal 17 Juni 1965, yang dikeluarkan oleh instansi resmi Provinsi Aceh dan membuktikan secara administratif keterikatan wilayah. Selain itu, terdapat surat kuasa atas hak tanah dari Teuku Djohandsyah bin Teuku Daud kepada Teuku Abdullah bin Teuku Daud bertanggal 24 April 1980, serta peta topografi TNI AD tahun 1978 yang menunjukkan batas wilayah Aceh dengan Sumut mencakup keempat pulau tersebut.
Bukti lainnya adalah dokumen kesepakatan bersama antara Gubernur Aceh kala itu, Ibrahim Hasan, dengan Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, yang menyepakati bahwa Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil berada dalam cakupan wilayah Aceh.
Meski Kemendagri tetap bersikukuh bahwa keputusan mereka sudah melalui prosedur administrasi yang berlaku, berbagai pihak menilai bahwa penetapan itu cacat hukum karena bertentangan dengan undang-undang yang masih berlaku. Jusuf Kalla menambahkan bahwa hal ini menyangkut lebih dari sekadar wilayah administratif.
“Bagi Aceh, ini bukan hanya soal pulau. Ini soal harga diri,” ujarnya dengan nada serius.
Pernyataan keras dari tokoh bangsa seperti Jusuf Kalla menambah tekanan terhadap pemerintah pusat untuk meninjau ulang keputusan tersebut. Sementara itu, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, telah mengambil alih langsung penanganan polemik ini dan dijadwalkan mengumumkan keputusan final dalam waktu dekat.
Di tengah dinamika yang berkembang, masyarakat Aceh dan berbagai elemen sipil terus menyuarakan penolakan dan menuntut keadilan atas wilayah yang diyakini merupakan bagian tidak terpisahkan dari Tanah Rencong. Sengketa ini tak hanya menjadi ujian atas konsistensi pemerintah terhadap supremasi hukum, tetapi juga menjadi cerminan bagaimana negara memperlakukan sejarah, identitas, dan keadilan wilayah terhadap daerah-daerah yang selama ini merasa terpinggirkan. (*)