KUTACANE – Perayaan wisuda Sarjana Angkatan XI Universitas Gunung Leuser (UGL) yang menghantarkan 388 lulusan baru memang layak diapresiasi sebagai momen historis. Kehadiran Bupati H.M. Salim Fakhry dan penegasannya
tentang “Kebangkitan Pendidikan dari Tanah Alas” memberikan bobot politis yang signifikan. Namun, di balik kemegahan ornamen Alas dan keharuan orang tua, ulasan tajam harus
diletakkan pada kualitas, relevansi, dan daya serap sarjana baru ini terhadap realitas pembangunan Aceh Tenggara.
1. Narasi Desa Versus Tantangan Urban
Rektor UGL bangga melaporkan bahwa lebih dari separuh lulusan berasal dari desa-desa. Ini adalah data yang kuat—UGL sukses mewujudkan demokratisasi akses pendidikan tinggi. Namun, ketajaman ulasan terletak pada pertanyaan: Apakah 388 sarjana ini pulang kembali ke desa untuk membangun, atau justru
berbondong-bondong menuju pusat kota atau luar daerah karena minimnya lapangan kerja di kampung halaman?
Pesan Bupati, “Jadilah sarjana yang membawa cahaya bagi kampung halaman,” terdengar mulia, tetapi ini adalah mandat ganda yang menuntut komitmen infrastruktur dan investasi daerah untuk menciptakan ekosistem pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang mereka.
2. Membedah Relevansi Program Studi
Distribusi lulusan menunjukkan konsentrasi kuat pada Manajemen (98), Agroteknologi (96), dan Pendidikan (119).
Peluang: Konsentrasi Agroteknologi adalah potensi emas, mengingat Aceh Tenggara adalah lumbung pertanian. Para sarjana ini harus menjadi agen modernisasi pertanian (teknologi, packaging, pasar).
Pertanyaan Kritis: Apakah kurikulum Agroteknologi UGL sudah terintegrasi dengan kebutuhan spesifik komoditas unggulan Aceh Tenggara? Dan yang lebih penting, apakah Pemda sudah menyiapkan program pendampingan atau modal usaha agar mereka tidak hanya menjadi pencari kerja, tetapi pencipta lapangan kerja di sektor primer?
3. Sinyal Kebutuhan Infrastruktur
Jumlah lulusan Teknik Sipil (37 orang), meskipun minoritas, mengisyaratkan kebutuhan mendesak akan pembangunan infrastruktur. Kehadiran sarjana teknik ini adalah kapasitas lokal yang harus dioptimalkan.
Ulasan Tajam: Pemerintah Daerah harus berani menjamin bahwa proyek-proyek pembangunan daerah diprioritaskan untuk menggunakan tenaga dan keahlian dari Teknik Sipil lulusan UGL sendiri, sebagai bentuk konkret dari dukungan terhadap “Kebangkitan Pendidikan” lokal.
4. Tantangan ‘Gelar di Pundak’ (Kualitas)
Bupati menekankan agar lulusan tidak sekadar memiliki “gelar di pundak.” Ini adalah kritik implisit terhadap risiko penurunan kualitas pendidikan tinggi di tengah lonjakan kuantitas.
Pertanyaan Kualitas: Dengan lonjakan jumlah sarjana, bagaimana UGL memastikan bahwa 388
lulusan ini memiliki daya saing global dan keahlian digital yang relevan, bukan hanya kompetensi lokal? Kualitas lulusan inilah yang akan menjadi penentu apakah gelar mereka benar-benar menjelma menjadi “cahaya” pembangunan, atau hanya menambah daftar panjang angka pengangguran terdidik.
Kesimpulan Tajam
Wisuda UGL adalah perayaan harapan dan bukti akselerasi pendidikan. Namun, janji “Kebangkitan Pendidikan” akan tetap menjadi retorika indah di panggung wisuda jika tidak ditopang oleh strategi penyerapan kerja yang agresif dari Pemda, investasi modal untuk lulusan entrepreneur, dan peningkatan kualitas berkelanjutan dari UGL. Kini, sorotan beralih dari kampus ke Kantor Bupati: Sejauh mana janji politik untuk menciptakan lapangan kerja bagi 388 cahaya baru ini akan direalisasikan?
Apakah Anda ingin fokus pada salah satu poin kritis di atas, misalnya tantangan penyerapan kerja bagi lulusan UGL? (****)













































