Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah: Awal Baru Demokrasi Indonesia yang Butuh Kesiapan Total

Redaksi Bara News

- Redaksi

Kamis, 26 Juni 2025 - 20:36 WIB

50920 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jakarta, 26 Juli 2025 |  Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah langsung membuat heboh jagat demokrasi Indonesia. Dalam putusan ini, Pemilu Nasional akan terdiri dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan anggota DPR RI dan DPD RI. Sementara itu, Pemilu Daerah mencakup pemilihan Gubernur, Bupati/Wali Kota, serta anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Selama ini, sistem pemilu serentak membuat semua proses pemilihan digelar di hari yang sama, dengan lima surat suara dan lima kotak suara untuk dipilih sekaligus. Maksud awalnya jelas: menyederhanakan pemilu, menghemat waktu, menghemat anggaran, dan memperkuat sistem presidensial. Namun dalam praktiknya, sistem ini justru menimbulkan beban luar biasa bagi penyelenggara, membingungkan pemilih, dan bahkan menyebabkan kelelahan massal yang menelan korban jiwa.

Dengan pemisahan ini, saya kira, MK seperti ingin membuka jalan baru: agar proses pemilu berjalan lebih tertata dan berkualitas. Pemilih diberi ruang untuk fokus pada isu nasional saat memilih Presiden, DPR RI dan DPD RI, lalu bisa benar-benar memperhatikan persoalan lokal saat memilih kepala daerah dan anggota DPRD. Hal ini tentu bisa mendorong rasionalitas pemilih dan memperkuat kualitas demokrasi.

Lebih jauh, pemisahan ini juga memberi peluang lebih besar bagi tokoh-tokoh lokal yang punya kapasitas dan rekam jejak baik. Mereka kini bisa bersaing secara lebih mandiri tanpa bergantung pada popularitas capres atau partai besar di tingkat nasional. Efek “ekor jas” — di mana suara untuk caleg atau calon kepala daerah ikut terdongkrak oleh kandidat presiden — bisa diminimalisir.

Dari sisi teknis penyelenggaraan, pemisahan ini juga memberi harapan. Beban kerja KPU, Bawaslu, dan petugas di lapangan bisa terbagi. Tidak lagi harus menangani lima surat suara dan lima kotak suara dalam satu waktu, yang selama ini memicu kekacauan logistik dan kelelahan luar biasa. Dalam jangka panjang, ini bisa menyelamatkan kualitas pelaksanaan pemilu dan bahkan keselamatan petugas.

Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa pemisahan ini menimbulkan tantangan baru.

Pertama, dari segi anggaran. Dua kali pemilu besar dalam satu siklus lima tahun berarti biaya dua kali lipat. Negara harus menanggung ongkos logistik, distribusi, pengamanan, dan honor petugas dua kali. Ini berpotensi menjadi beban fiskal yang berat, apalagi jika tidak disertai efisiensi.

Kedua, masyarakat akan dihadapkan pada intensitas politik yang makin tinggi. Frekuensi ke TPS bertambah. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menimbulkan kejenuhan atau apatisme politik. Partisipasi pemilih bisa menurun karena merasa bosan atau tidak melihat perubahan nyata dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.

Ketiga, potensi munculnya politisi “lompat panggung” makin besar. Karena waktu pemilu berbeda, mereka yang gagal di pemilu nasional bisa langsung nyalon di pilkada atau sebaliknya. Politik jadi ajang coba-coba, bukan lagi soal pengabdian. Demokrasi bisa terjebak pada pola pikir jangka pendek dan kepentingan elektoral belaka.

Lalu, apakah putusan ini baik bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi kita?

Jawabannya: bisa iya, bisa tidak. Jika dikelola dengan benar, putusan ini bisa menjadi peluang besar untuk memperbaiki kualitas demokrasi elektoral kita. Masyarakat bisa lebih jernih menilai calon pemimpin. Proses pemilu lebih tertib dan fokus. Tokoh-tokoh lokal punya ruang lebih luas untuk tampil.

Namun sebaliknya, tanpa kesiapan yang matang – dari sisi regulasi, penyelenggaraan, edukasi publik, partisipasi rakyat, hingga anggaran – putusan ini justru bisa menimbulkan beban baru. Yang tadinya ingin menyederhanakan, bisa-bisa malah makin merepotkan.

Karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah, DPR, penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat sipil bisa segera beradaptasi. Regulasi harus segera direvisi dan momentumnya pas, sebab revisi UU Pemilu sedang bergulir di DPR. Dan yang paling penting, masyarakat harus dilibatkan secara aktif dan diberi pemahaman agar tidak cuek dan apatis dalam berpartisipasi.

Putusan MK ini memang agak mengagetkan namun menimbulkan tantangan baru. Sebab Putusan MK sifatnya final dan mengikat, maka harus dilaksanakan. Apakah Putusan MK ini akan membawa perbaikan atau justru jadi masalah baru, sangat bergantung pada bagaimana kita menyiapkan langkah selanjutnya. Demokrasi yang baik bukan hanya soal hari pencoblosan, tapi juga soal bagaimana semua proses dijalankan dengan jujur, adil, efisien, dan berorientasi pada rakyat. (*)

Berita Terkait

Dewan Pakar PWI Pusat H. Muhammad Amru Ingatkan Pentingnya Peran Jurnalis dalam Menjaga Keberlanjutan Kebudayaan Lokal
Tomy Suswanto Resmi Pimpin Ikatan Alumni BEM Nusantara Periode 2025 2030
Dolar Tembus Rp16.581: Kemenkeu Tetapkan Kurs Pajak dan Bea Masuk Periode 22–28 Oktober 2025
Purbaya Siap Tangkap Mafia Perdagangan, Targetkan Penyelundupan dan Under Invoicing
Menkeu Purbaya Muncul sebagai Idola Baru Politik, Gaya Koboi dan Sikap Tegasnya Dinilai Jadi Ancaman bagi Praktik Usang
Purbaya Tampil Bersahaja dan Tegas, Gibran dan Dedi Mulyadi Kian Redup di Panggung Politik Nasional
Menuju Era Baru Gemilang, Perisai SI Apresiasi Glenny Kairupan Jadi Dirut Garuda Indonesia
BNN dan PWI Perkuat Kolaborasi dalam Perang Melawan Narkoba

Berita Terkait

Kamis, 23 Oktober 2025 - 22:18 WIB

Pererat Ukhuwah dan Bertukar Pengalaman, Imam Masjid Kelantan Kunjungi Aceh

Kamis, 23 Oktober 2025 - 21:34 WIB

TTI: Gubernur Aceh Jangan Asal Tunjuk Direktur RS Zainoel Abidin

Kamis, 23 Oktober 2025 - 10:59 WIB

Universitas Ubudiyah Indonesia Lahirkan Generasi Cerdas dan Berkarakter, Siap Bersaing Global

Kamis, 23 Oktober 2025 - 10:37 WIB

Bea Cukai Banda Aceh Bersama Satpol PP dan WH Aceh Besar Gencarkan Operasi Pasar untuk Tekan Peredaran Rokok Ilegal

Kamis, 23 Oktober 2025 - 10:30 WIB

Dirjen Bea Cukai Apresiasi Sinergi Forkopimda Aceh dalam Penindakan dan Pemusnahan Barang Ilegal

Kamis, 23 Oktober 2025 - 10:23 WIB

Bea Cukai Aceh Gagalkan 80 Kasus Narkotika, Sita 5,89 Ton Barang Bukti Sepanjang 2025

Kamis, 23 Oktober 2025 - 10:14 WIB

Satgas Bea Cukai Aceh Berhasil Gagalkan Penyelundupan Barang Ilegal Senilai Rp6,97 Miliar

Kamis, 23 Oktober 2025 - 10:08 WIB

Bea Cukai Aceh Catat 665 Penindakan Senilai Rp25,6 Miliar Sepanjang 2025

Berita Terbaru