Banda Aceh — Presiden Mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Tengku Raja Aulia Habibie, menyampaikan kritik tajam terhadap pelaksanaan program Rumah Layak Huni (RLH) yang dikelola oleh Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Aceh. Dalam pernyataannya di Banda Aceh, Senin (20/10/2025), Habibie mendorong evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan perumahan rakyat, termasuk desakan agar Kepala Dinas Perkim Aceh bertanggung jawab atas pelbagai persoalan dalam pelaksanaan program tersebut.
Menurut Habibie, temuan mahasiswa di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan RLH maupun program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang berasal dari pemerintah pusat, masih menyisakan banyak persoalan. Ia menilai, program yang seharusnya menjadi solusi terhadap problem hunian masyarakat justru berpotensi menimbulkan ketimpangan sosial baru.
“Masalahnya bukan semata-mata tentang besaran bantuan, tetapi tentang sistem yang tidak berpihak pada kelompok masyarakat paling rentan. Banyak penerima BSPS yang tinggal di rumah nyaris roboh, berdinding rapuh, tanpa ventilasi memadai. Namun karena pernah menerima bantuan, mereka otomatis tidak bisa mengakses program RLH. Ini bentuk ketidakadilan dalam praksis kebijakan publik,” ujar Habibie.
Dalam kunjungan langsung ke sejumlah lokasi di Kabupaten Bireuen dan Aceh Utara, pihaknya menemukan kondisi rumah bantuan BSPS yang jauh dari standar kelayakan. Ia menyebutkan bahwa beberapa rumah yang dibangun melalui skema BSPS mengalami kerusakan serius seperti dinding retak, atap bocor, bahkan ada yang hampir roboh.
“Dengan besaran bantuan sekitar Rp20 juta, sangat sulit membayangkan rumah itu bisa selesai secara layak. Fakta yang kami lihat membuktikan bahwa sebagian besar rumah hasil BSPS masih masuk kategori tidak layak huni,” ujar Habibie menegaskan.
Ia menyayangkan sikap pemerintah yang tidak memberikan ruang lanjutan bantuan kepada warga yang rumahnya belum memenuhi standar walaupun secara administratif telah menerima bantuan. Menurutnya, kebijakan itu mengedepankan logika administratif dibanding realitas kemiskinan riil di masyarakat.
Tak hanya itu, Habibie juga menyoroti ketidaktercapaian target pembangunan RLH tahun anggaran 2025. Dari target pembangunan sebanyak 2.000 unit, yang terealisasi hanya sekitar 1.470 unit. Ia mempertanyakan alokasi dana terhadap 530 unit rumah yang tidak dibangun.
“Publik harus tahu ke mana perginya anggaran untuk ratusan unit rumah yang tidak terealisasi. Tidak cukup hanya menjelaskan bahwa penerima tidak memenuhi syarat. Pemerintah Aceh perlu menjawab lebih rinci: apakah anggarannya ditunda, dikembalikan ke kas daerah, atau digunakan untuk program lain? Ini soal akuntabilitas anggaran publik,” kata Habibie.
Ia juga mengkritik persyaratan penerima bantuan RLH yang dinilai diskriminatif. Salah satu syarat utama yakni penerima harus berusia minimal 40 tahun dianggapnya tidak relevan terhadap kondisi masyarakat saat ini.
“Banyak warga yang berusia di bawah 40 tahun, sudah menikah, memiliki anak, dan tinggal di rumah tidak layak. Namun karena faktor usia, mereka tidak lolos verifikasi. Negara tidak boleh membatasi hak atas tempat tinggal hanya karena umur. Kebutuhan dasar tidak boleh dibatasi angka administratif,” ujarnya.
Kritik paling keras dilontarkan Habibie terhadap Kepala Dinas Perkim Aceh, yang menurutnya tidak transparan dan tidak menunjukkan tanggung jawab konkret dalam mengawasi pelaksanaan program. Ia menilai, pelaporan berbasis dokumen semata tidak mencerminkan situasi lapangan yang sebenarnya.
“Kami menilai Kadis Perkim Aceh gagal menjaga integritas dan fungsi pengawasan atas program ini. Data dan laporan di meja tidak cukup. Harus turunkan tim, pastikan kebenaran di lapangan, dan buka ruang transparansi kepada publik. Kalau tidak mampu, maka sudah saatnya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kepemimpinannya,” tambahnya.
Habibie juga mendorong agar Pemerintah Aceh membuka data penerima, progres pembangunan, serta rekam jejak penggunaan anggaran kepada publik. Menurutnya, kebijakan yang tidak transparan hanya akan melahirkan kecurigaan, kehilangan kepercayaan masyarakat, dan memicu potensi penyimpangan.
Ia meminta agar ke depannya, pemerintah melibatkan lebih banyak unsur masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga pengawas independen dalam proses evaluasi dan monitoring program bantuan perumahan. Hal ini penting agar pelaksanaan kebijakan tidak berlangsung secara tertutup dan elitis.
“Rumah layak huni bukan soal proyek bangunan semata, melainkan tentang pemenuhan hak dasar warga negara. Ketika hunian yang dibangun tidak aman, tidak nyaman, dan tidak manusiawi, maka di situ negara telah abai terhadap martabat masyarakat miskin,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Tengku Raja Aulia Habibie menegaskan bahwa mahasiswa akan terus mengawal isu ini, tidak hanya sebagai bagian dari kontrol sosial, tetapi sebagai bentuk keberpihakan terhadap rakyat kecil.
“Negara harus hadir secara nyata. Bukan sekadar membangun rumah, tetapi memastikan rakyat bisa hidup layak dan aman di dalamnya. Reformasi kebijakan rumah layak huni adalah keharusan, bukan pilihan,” pungkasnya.