Jakarta – Penonaktifan sejumlah anggota DPR RI baru-baru ini mendapat sorotan dari akademisi dan pengamat hukum. Herdiansyah Hamzah “Castro”, anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, menilai langkah itu sebagai strategi partai politik untuk meredam kritik publik, bukan tindakan resmi menurut ketentuan hukum yang berlaku.
“Saya membaca upaya penonaktifan itu adalah akal-akalan partai politik untuk menghindar dari kritik publik,” ujar Castro saat dihubungi melalui pesan tertulis, Senin (1/9).
Castro menjelaskan, istilah penonaktifan tidak dikenal dalam Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), maupun dalam Peraturan DPR tentang Tata Tertib. Menurutnya, yang sah secara hukum hanya ada pemberhentian atau pemberhentian sementara.
“Dikiranya kita bodoh kali ya. Istilah penonaktifan sekali lagi tidak ada di dalam UU MD3 ataupun Tatib DPR 1/2020. Yang ada itu pemberhentian dan pemberhentian sementara,” kata Castro.
Ia menambahkan, penonaktifan yang dilakukan partai politik tidak menimbulkan konsekuensi hukum. Anggota DPR yang dinonaktifkan tetap menerima gaji dan hak-haknya sebagai anggota dewan. “Mereka tetap anggota DPR, dan tetap makan gaji,” imbuhnya.
Jika nonaktif yang dimaksud adalah pemberhentian sementara, Castro menegaskan prosedurnya berbeda. Pemberhentian sementara anggota DPR hanya bisa ditetapkan melalui Rapat Paripurna, bukan keputusan internal partai. Langkah ini biasanya diterapkan kepada anggota yang terlibat masalah hukum, termasuk tindak pidana berat seperti korupsi, atau ancaman pidana lebih dari lima tahun.
“Kalau ada putusan inkrah, baru kemudian diberhentikan secara definitif dan dilakukan PAW (Pergantian Antar-Waktu). Begitu konteksnya,” jelasnya.
Sebelumnya, beberapa anggota DPR yang terdiri dari Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Karding dinonaktifkan oleh partainya masing-masing. Keputusan itu didasari oleh perilaku atau pernyataan mereka yang memicu kontroversi publik.
Menurut Castro, langkah penonaktifan oleh partai politik lebih bersifat politis ketimbang legal formal, sehingga tidak mengubah status resmi anggota DPR. Praktik semacam ini, menurut pengamat hukum, rawan menimbulkan persepsi publik bahwa partai sedang menutup kritik atau mengatur disiplin internal secara sewenang-wenang.
Kasus ini menjadi sorotan karena mengangkat kembali perdebatan mengenai kedudukan hukum anggota DPR dan kewenangan partai politik dalam menentukan sanksi internal. Masyarakat dan pengamat politik menilai, transparansi prosedur dan kepastian hukum menjadi kunci agar praktik serupa tidak menimbulkan kontroversi di masa depan. (*)













































