Gayo Lues Baranewsaceh.co | Gayo Lues tampak hidup lebih dari biasanya. Sabtu siang, Stadion Buntul Nege berubah menjadi lautan manusia. Ribuan warga dari berbagai penjuru dataran tinggi Gayo memadati arena pacuan kuda dalam rangka peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia. Sorak sorai, bau rerumputan, debu, dan teriakan pelatih kuda yang saling bersahutan menjadi satu irama yang akrab di telinga masyarakat Gayo.
Di tribun, tempat duduk nyaris tak bersisa. Mereka yang tak kebagian tempat memilih berdiri di sisi pagar arena. Sementara itu, di tengah lapangan, pedagang musiman memenuhi ruang kosong. Tenda-tenda sederhana berdiri saling berdekatan, menawarkan segala rupa: dari topi, syal, minuman segar, hingga kopi Gayo yang harum menggoda. Tidak lupa penganan tradisional dan jajanan rumahan UMKM setempat menambah suasana seperti pesta rakyat.
“Pacuan kuda bukan sekadar lomba,” ujar seorang warga tua sambil memandang arena dengan mata berbinar. “Ini adalah darah dan napas orang Gayo.”Ucapannya tidak berlebihan. Pacuan kuda telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat dataran tinggi ini—tradisi yang diwariskan turun-temurun, dirawat sebagai kebanggaan.
Di antara kerumunan, tampak Bupati Gayo Lues, H. Suhidi, S.Pd., M.Si., hadir bersama sejumlah pejabat daerah. Mereka menyapa masyarakat, berbincang, dan sesekali ikut bertepuk tangan ketika kuda-kuda terbaik melesat menembus garis akhir.

Babak semifinal kali ini menjadi magnet besar, namun puncak sesungguhnya baru akan digelar Minggu, 26 Oktober 2025. Pada partai final nanti, rencananya tiga kepala daerah dari kabupaten serumpun—Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues—akan hadir. Kehadiran mereka dianggap memiliki makna simbolik: Pacuan kuda bukan hanya ajang olahraga, tetapi juga perekat persaudaraan antarwilayah Gayo.
Lebih dari itu, arena ini bukan sekadar tempat pertandingan. Ia adalah ruang silaturahmi, temu kangen, bahkan perayaan identitas bersama. Di sini, orang-orang melepas rindu, bertemu saudara jauh, berkumpul dalam suasana yang hangat dan ramai.
Ketika matahari perlahan turun dan angin pegunungan mulai menyejuk, ribuan pasang mata masih tertuju ke arena. Sorakan belum berhenti. Jantung masih berdebar mengikuti setiap langkah kuda yang berlari kencang di lintasan tanah yang telah dihormati sejak lama.
Pacuan kuda di Buntul Nege bukan hanya tontonan. Ia adalah cerita tentang kebanggaan, kebersamaan, dan warisan budaya yang tidak lekang oleh waktu. (Dani)













































