Jakarta – Rencana besar pengembangan kawasan pariwisata eksklusif di empat pulau kecil di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, tampaknya masih terhambat di meja birokrasi. Hal ini diungkap langsung oleh Ketua Dewan Energi Nasional (DEN) yang juga Penasihat Khusus Presiden Bidang Digitalisasi dan Teknologi Pemerintahan, Luhut Binsar Pandjaitan.
Dalam keterangannya kepada wartawan Minggu (15/6/2025), Luhut menyatakan bahwa empat pulau – yakni Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang – telah menarik minat kuat dari sejumlah investor internasional. Salah satunya bahkan disebut berasal dari Uni Emirat Arab (UEA), yakni Putra Mahkota Mohamed bin Zayed (MBZ), yang secara pribadi ingin membangun sebuah resor mewah di kawasan tersebut.
“Kalau Singkil itu saya sudah kunjungi. Putra Mahkota UEA sendiri yang menyampaikan minatnya untuk membangun satu resor di sana. Ini bukan proyek migas, tapi potensi wisata yang luar biasa,” kata Luhut saat ditanya soal prospek pariwisata di wilayah Aceh bagian barat daya.
Luhut menambahkan bahwa ketertarikan tersebut bukan sekadar wacana. Proses komunikasi dan penjajakan investasi telah berjalan cukup jauh. Namun, seluruh rencana ambisius itu tertahan akibat belum terselesaikannya polemik administratif mengenai status keempat pulau. Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri telah menetapkan bahwa pulau-pulau tersebut masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Keputusan ini memicu kontroversi dan penolakan dari Pemerintah Provinsi Aceh, yang menyatakan bahwa secara sejarah dan administrasi sebelumnya, keempat pulau itu merupakan bagian sah dari Kabupaten Aceh Singkil.
Pemerintah Aceh kini sedang menempuh upaya diplomatik untuk meninjau kembali keputusan pusat tersebut. Peninjauan melibatkan proses klarifikasi batas wilayah, termasuk penelusuran dokumen hukum dan peta wilayah yang selama ini digunakan dalam tata kelola daerah.
Luhut mengisyaratkan bahwa ketidakpastian status pulau-pulau tersebut dapat menghambat potensi investasi bernilai miliaran dolar. “Kalau bisa diselesaikan dengan cepat, peluang besar akan terbuka. Sayang kalau dibiarkan berlarut,” ujarnya.
Keempat pulau tersebut memiliki bentang alam tropis yang masih perawan: garis pantai berpasir putih, hutan mangrove yang lebat, terumbu karang, dan keanekaragaman hayati laut yang luar biasa. Potensi pariwisata berkelanjutan di kawasan ini dinilai sangat tinggi, dengan peluang menjadikannya sebagai salah satu destinasi eksklusif di Indonesia bagian barat.
Di sisi lain, muncul pula spekulasi bahwa sengketa ini bukan semata soal pariwisata, melainkan ada dugaan potensi sumber daya alam lain di sekitar kawasan tersebut, seperti migas. Namun Luhut menepis hal tersebut. “Sampai hari ini kami belum tahu ada migas di sana. Yang jelas, secara lanskap, tempat itu luar biasa untuk pariwisata,” tegasnya.
Sementara itu, beberapa anggota legislatif dari Aceh, baik di DPR maupun DPD RI, mendesak agar keputusan Kementerian Dalam Negeri dibatalkan. Mereka menilai keputusan tersebut sepihak dan tidak mencerminkan aspirasi masyarakat Aceh yang selama ini menjaga dan memanfaatkan pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah adat dan geografis mereka.
Konflik batas wilayah ini menambah daftar panjang ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal pengelolaan wilayah perbatasan administratif. Lebih jauh, konflik ini juga menjadi ujian bagi konsistensi pemerintah dalam mengelola potensi investasi dengan tetap menghormati kedaulatan daerah.
Hingga kini, nasib proyek investasi dan pengembangan resor oleh pihak asing di empat pulau tersebut masih menggantung. Pemerintah pusat belum mengeluarkan sinyal apakah akan meninjau ulang keputusan yang sudah diambil, atau tetap mempertahankan peta wilayah seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Yang jelas, ketegangan belum mereda. Dan selama itu pula, potensi ekonomi dan pariwisata yang seharusnya bisa dinikmati rakyat, justru terjebak dalam tarik-ulur kepentingan antara pusat, daerah, dan asing. (*)