JAKARTA – Lima anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2024-2029 dinonaktifkan oleh partainya masing-masing menyusul pernyataan kontroversial yang memicu reaksi publik. Namun, mekanisme hukum terkait status nonaktif anggota DPR hingga saat ini masih menjadi perdebatan.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan DPRD (MD3), yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019, tidak dikenal istilah penonaktifan anggota DPR. Secara resmi, terdapat tiga bentuk pemberhentian anggota DPR, yakni pemberhentian antarwaktu, penggantian antarwaktu, dan pemberhentian sementara. Pemberhentian antarwaktu bisa terjadi karena anggota meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.
Peneliti dari Perludem, Mas Haikal, menjelaskan, istilah “nonaktif” lebih bersifat administratif dan politis dari keputusan partai, bukan status hukum yang jelas dalam keanggotaan DPR. “Kalau partai mengatakan seorang anggota dinonaktifkan, itu berbeda dengan pemecatan. Secara hukum, mereka tetap terdaftar sebagai anggota DPR, sehingga gaji tetap berjalan, tapi aktivitas seperti sidang dan kunjungan kerja dibatasi,” ujar Mas Haikal.
Mantan anggota DPR dari Fraksi Golkar, Ritwan Hisyam, menambahkan bahwa penonaktifan kerap digunakan partai sebagai langkah awal meredam kemarahan publik. “Biasanya ini tahap pertama. Jika publik masih menuntut, partai akan mendorong anggota tersebut mengundurkan diri. Kalau mau legowo, mereka buat surat pengunduran diri dan proses pergantian antarwaktu bisa dijalankan,” kata Ritwan.
Praktik penonaktifan yang bersifat sementara juga menimbulkan risiko kebingungan publik, karena berbeda persepsi antara keputusan partai dan mekanisme hukum formal di DPR. “Pemberhentian tetap harus mengikuti prosedur di UU MD3. Jika partai hanya menggunakan istilah nonaktif tanpa proses resmi, ini bisa menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan masyarakat,” ujar Mas Haikal.
Selain itu, kasus ini menyoroti masalah sistemik dalam politik, di mana partai politik dinilai terlalu jauh dari masyarakat dan kader yang terpilih menjadi anggota dewan terkadang kehilangan kedekatan dengan konstituen. “Permasalahan ini tidak hanya terkait individu, tapi sistem rekrutmen dan pendidikan politik partai yang belum maksimal. Sehingga anggota dewan kurang siap menghadapi tekanan publik,” tambah Mas Haikal.
Para pakar menekankan, langkah paling tepat adalah partai politik menempuh jalur transparan. Jika memang ingin memberhentikan anggota, prosedur resmi melalui pengunduran diri atau pemecatan harus dijalankan sesuai UU MD3, bukan sekadar menggunakan istilah nonaktif yang menimbulkan kerancuan hukum dan publik.
Kasus lima anggota DPR yang dinonaktifkan ini sekaligus menjadi momentum evaluasi bagi partai politik dan sistem demokrasi di Indonesia, agar lebih transparan dan akuntabel dalam menangani aspirasi publik serta mekanisme internal anggota legislatif. (*)













































