Lamongan, 25 Juli 2025 – Sengkarut sengketa warisan dan dugaan penggelapan aset perusahaan kembali mencuat. Kali ini menyeret nama besar Hotel Grand Mahkota Lamongan, yang belakangan menjadi ajang rebutan antara ahli waris sah, isteri ketiga almarhum Mike Wijaya, Farida Mike Wijaya, bersama anak-anak kandungnya, melawan pihak yang diduga menguasai hotel secara sepihak.
Di balik fasad mewah dan aktivitas perhotelan yang berjalan normal, konflik hukum dan etika tengah membusuk di dalamnya. Farida Mike Wijaya melalui kuasa hukumnya dari Kantor Hukum H. Muhammad Djen Sanjuan, S.H. dan Hj. Siti Rusdahniar, S.H., menyatakan bahwa pengelolaan dan kepemilikan hotel dilakukan tanpa dasar yang sah. “Kami telah berusaha melakukan mediasi, namun kedatangan kami selalu dihalangi. Bahkan yang menemui kami bukan pihak yang berwenang. Ini bentuk penghindaran yang disengaja,” ujar Hj. Siti dengan nada tegas.
Persoalan makin kusut ketika fakta hukum menunjukkan bahwa sertifikat Hotel Grand Mahkota telah diagunkan ke Bank BRI Cabang Sidoarjo atas nama CV. Artha Satria Jaya. Perusahaan tersebut sebelumnya juga mengagunkan properti lain, termasuk Hotel Panorama (Goya) di Probolinggo yang telah dilelang akibat kredit macet pada 2010. Kini, Grand Mahkota ditengarai terikat dalam satu bundel perjanjian agunan yang sama.

Namun, hingga Surat Peringatan Ketiga (SP3) dilayangkan oleh pihak Bank BRI, pengelola hotel tidak menunjukkan itikad baik. Manajer hotel, Rusdi, selalu beralasan berada di luar kota, dan enggan menemui pihak ahli waris maupun bank. Di saat bersamaan, Irsan—suami dari Imma alias Nonik—mengklaim bahwa hotel tidak ada kaitannya dengan CV. Artha Satria Jaya. Pernyataan ini justru membuka celah besar dugaan rekayasa hukum dan pengaburan struktur kepemilikan yang patut diusut lebih lanjut.
Di balik ini semua, terkuak pula kisruh internal keluarga. Tudingan saling fitnah, manipulasi, bahkan dugaan pencurian sertifikat mencuat ke permukaan. Salah satu pihak yang disebut, Cak Djito—anak angkat dari almarhum Mike Wijaya—dituduh telah menggelapkan sertifikat milik keluarga hingga menimbulkan kerugian besar bagi Farida Mike Wijaya. “Kerugian yang kami alami bukan sekadar materi. Ini pengkhianatan terhadap hak dan hukum,” cetus Hj. Siti Rusdahniar.
Lebih dari itu, dugaan adu domba antaranggota keluarga disebut sebagai penyebab utama macetnya kredit dan amburadulnya pengelolaan perusahaan warisan. CV. Mahkota dan CV. Artha Satria Jaya diduga dijadikan tameng untuk memisahkan tanggung jawab hukum dari aset-aset produktif, demi menghindari penyitaan.
Sejumlah kalangan menilai, kasus ini adalah potret rusaknya tata kelola warisan di lingkup keluarga kaya, yang bercampur antara kepentingan pribadi, ego sektoral, dan praktik penggelapan hukum. Lebih ironis lagi, negara—dalam hal ini Bank BRI dan aparat penegak hukum—masih terlihat pasif.
“Kalau negara tidak hadir untuk menyelesaikan kasus seperti ini, siapa yang menjamin aset milik rakyat tidak dirampas oleh mafia hukum?” ujar seorang akademisi hukum keluarga dari Surabaya yang enggan disebut namanya.
Kondisi ini mencerminkan darurat tata kelola warisan di Indonesia. Tanpa keterlibatan aktif dari notaris independen, pengadilan niaga, dan auditor aset, kasus seperti ini akan terus berulang. Keputusan hukum yang kabur, dokumen yang tumpang tindih, serta pembiaran terhadap pelanggaran administratif membuka jalan lebar bagi para perampok berseragam keluarga.
Kini, Hotel Grand Mahkota Lamongan tak lagi sekadar properti bisnis, melainkan simbol dari ketidakadilan, pengkhianatan hukum, dan lemahnya pengawasan negara atas korupsi dalam lingkup privat. Bila pembiaran ini terus berlangsung, maka tak hanya hak ahli waris yang dirampas, tapi juga wibawa hukum itu sendiri.
(TIM MEDIA)