Bireuen – M. Akbar, Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Komputer Universitas Almuslim (Umuslim) Bireuen, mengeluarkan pernyataan tegas menolak pengambilalihan empat pulau yang selama ini secara administratif dan historis menjadi bagian dari Provinsi Aceh. Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, yang telah lama diakui sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, kini tercatat dalam dokumen administratif sebagai wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
“Saya menolak keras segala bentuk perampasan wilayah Aceh, apalagi saya berasal dari Subulussalam, wilayah yang langsung berbatasan dengan Sumut. Ini bukan sekadar urusan administrasi, tapi menyangkut harga diri dan kedaulatan daerah,” tegas Akbar, Jumat (30/5/2025), saat ditemui di sela forum mahasiswa di Kampus Umuslim Peusangan, Bireuen.
Akbar menilai pengalihan wilayah ini mencerminkan kelalaian pihak-pihak berwenang di Aceh, baik eksekutif maupun legislatif. Ia menyayangkan lemahnya pengawasan terhadap perubahan peta wilayah yang berdampak pada hilangnya kedaulatan Aceh atas pulau-pulau strategis tersebut.
“Kami, mahasiswa, tidak bisa diam. Saat pemerintah abai, maka kami yang harus menjadi garda terdepan. Saya akan segera menginisiasi konsolidasi mahasiswa lintas fakultas untuk membentuk Gerakan Penyelamatan Wilayah Aceh,” ujar mahasiswa Prodi Informatika itu dengan penuh semangat.
Lebih jauh, Akbar memaparkan bahwa keempat pulau tersebut bukanlah pulau kosong tanpa arti. Berdasarkan beberapa hasil riset geologi dan survei energi kelautan, kawasan perairan di sekitar pulau-pulau itu menyimpan potensi besar sumber daya alam, khususnya minyak dan gas bumi (migas).
“Ini bukan hanya soal klaim daratan kosong. Ada cadangan migas yang sangat besar di wilayah laut sekitarnya. Jika wilayah ini benar-benar lepas, maka Aceh kehilangan akses atas sumber ekonomi vital. Ini bisa menjadi bagian dari upaya sistematis untuk menggerus kekuatan ekonomi Aceh,” jelas Akbar.
Sebagai mahasiswa ilmu komputer, Akbar juga menyoroti pentingnya penggunaan teknologi geospasial dan pemetaan digital dalam memperkuat klaim wilayah. Menurutnya, saat ini Aceh harus bergerak cepat menyusun Peta Digital Kedaulatan Wilayah berbasis bukti ilmiah yang dapat dijadikan dokumen sah untuk menuntut keadilan di tingkat nasional.
“Sudah saatnya ilmu dan teknologi digunakan secara nyata untuk mempertahankan hak Aceh. Jangan biarkan digitalisasi hanya jadi alat hiburan. Kita harus gunakan teknologi sebagai alat perjuangan,” ujarnya.
Akbar juga mengingatkan bahwa pengambilalihan wilayah tersebut berpotensi melanggar Perjanjian Damai Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005. Dalam perjanjian tersebut ditegaskan bahwa Aceh memiliki kewenangan khusus, termasuk dalam pengelolaan wilayah administratif.
“Jika pemerintah pusat dan provinsi lain mengabaikan ini, maka kepercayaan publik terhadap proses perdamaian akan rusak. Ini bukan sekadar soal pulau—ini soal penghormatan terhadap perjanjian damai yang dijamin hukum nasional dan internasional,” tegasnya.
Ia menutup pernyataannya dengan ajakan kepada seluruh elemen masyarakat Aceh, khususnya generasi muda, untuk tidak membiarkan satu jengkal pun wilayah Aceh diklaim oleh pihak lain tanpa perlawanan.
“Jika hari ini kita biarkan empat pulau hilang, jangan heran jika besok batas darat Subulussalam atau Singkil juga diambil alih. Kita harus bersatu, jaga tanah kita. Jangan tunggu sampai rumah kita hilang dari peta,” pungkas Akbar dengan nada serius. (ZK)