Birmingham, Baranews — Dua pemuda asal dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah dan Bener Meriah, masih terjebak di Kamboja setelah menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Al Muttakim dan Muhammad Fahmi, masing-masing dari Aceh Tengah dan Bener Meriah, sebelumnya bekerja di negara tersebut namun tersangkut dalam jaringan penipuan daring (online scammer) yang kerap menjebak Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Asia Tenggara.
Informasi terbaru disampaikan oleh Yusradi Usman al-Gayoni, diaspora Indonesia-Inggris asal Gayo yang juga merupakan inisiator World Gayonese Community (Diaspora Gayo Dunia), melalui sambungan pesan WhatsApp dari Birmingham, Inggris, Senin (28/7/2025).
Menurut Yusradi, saat ini kedua pemuda tersebut tengah mengurus dokumen perjalanan darurat setelah paspor dan visa mereka ditahan oleh pihak tempat kerja. “Mereka masih mengurus SPSP dan visa, karena paspor dan visa mereka ditahan di tempat kerja. Alhamdulillah, Rabu kemarin (23/7/2025), mereka sudah mengurus Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) ke KBRI di Phnom Penh. Kebetulan, dekat dari tempat menginap mereka. Cuma jalan kaki. Tetap perlu biaya, masing-masing sekitar 35 dolar,” ujarnya.
Setelah SPLP selesai, keduanya harus mengurus visa di kantor imigrasi setempat yang jaraknya cukup jauh. Proses tersebut memerlukan setidaknya tiga kali perjalanan bolak-balik dari tempat tinggal mereka. Selain biaya visa yang mencapai 40 dolar AS per orang, mereka juga harus menanggung ongkos transportasi, tempat tinggal sementara, serta kebutuhan makan dan minum sehari-hari.

Yusradi berharap seluruh dokumen keimigrasian dapat selesai dalam minggu ini agar ada kejelasan mengenai kapan keduanya bisa kembali ke Indonesia. Namun, persoalan belum berhenti di sana. Biaya kepulangan dari Kamboja ke Indonesia masih menjadi kendala besar.
“Untuk Al Muttakim, menurut informasi dibantu Pemkab Aceh Tengah. Tapi, belum ada kepastian dan kabar terbaru. Keluarga juga sudah ke Baitul Mal Kabupaten Aceh Tengah. Untuk Fahmi, masih difasilitasi bertemu dengan Bupati, Wakil atau Sekda. InsyaAllah hari ini bertemu. Harapannya, sebelum SPLP dan Visa selesai, sudah ada kepastian, yang membantu biaya kepulangan ke Indonesia, sampai Tanoh Tembuni, Aceh Tengah dan Bener Meriah. Kalau tidak, alternatif terakhir, eteng-eteng iyak,” ungkap Yusradi, merujuk pada sumbangan sukarela.
Di tengah berbagai keterbatasan itu, Yusradi menilai perlunya peran lebih aktif dari pemerintah kabupaten di dataran tinggi Gayo. Menurut dia, Pemkab Aceh Tengah dan Bener Meriah harus menyediakan layanan pengaduan khusus bagi warga yang bekerja di luar negeri, terutama di negara-negara ASEAN yang kerap menjadi lokasi rawan eksploitasi pekerja migran.
“Perkiraan saya, masih ada, di luar Al Muttakim dan Fahmi, tambah sebelumnya Tanwir Ayubi dan Feri Safuan. Termasuk, negara lainnya di ASEAN. Hanya saja, belum terdata dan tidak komunikasi. Alhasil, saat ada yang mengalami kasus yang sama, mereka bisa langsung melapor ke pemerintah daerah,” jelasnya.

Selain layanan pengaduan, Yusradi juga menyoroti pentingnya sosialisasi dan edukasi terkait peluang kerja di luar negeri. Ia mendorong agar dinas-dinas terkait aktif memberikan pemahaman tentang prosedur legal dan risiko bekerja sebagai PMI, agar masyarakat tidak terjebak oleh tawaran pekerjaan yang menjebak.
Menurutnya, akar dari semua persoalan ini adalah minimnya lapangan kerja dan kesempatan usaha di daerah asal. Hal itu mendorong banyak anak muda mencoba peruntungan ke luar negeri tanpa perlindungan memadai. Karena itu, ia mendorong pemerintah daerah untuk serius mengupayakan masuknya investasi ke kawasan pedalaman Aceh, guna membuka lapangan kerja lokal yang layak dan berkelanjutan.
“Saya melihat, persoalan utamanya lebih pada kurangnya kesempatan kerja di daerah, ingin mendapatkan pengalaman lebih, selain penghasilan lebih. Untuk jangka panjang, juga perlu dikuatkan semangat entrepreneurship, sehingga akan lahir entrepreneur-entrepreneur baru,” tutup Yusradi Usman al-Gayoni. (RED)












































