Gayo Lues – Dugaan penyimpangan pengelolaan Dana Desa Kute Sange, Kecamatan Blangkejeren, tahun anggaran 2023 kembali mencuat setelah Forum Masyarakat Pembela Kebenaran (FMPK) Kabupaten Gayo Lues menyuarakan keresahan publik atas ketidakjelasan penggunaan anggaran tersebut. Ketua FMPK, Syaparudin Telvi, dalam pernyataannya kepada awak media Pada Minggu (1/06/2025) menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas penuh dalam tata kelola keuangan desa. Ia menegaskan bahwa setiap rupiah anggaran negara yang dikucurkan ke desa harus dipertanggungjawabkan secara terbuka dan taat hukum.
Menurut Syaparudin, dana desa yang seharusnya menjadi penopang utama pembangunan dan pemberdayaan masyarakat kini justru menjadi sumber keresahan karena banyaknya indikasi ketidakwajaran dalam penggunaannya. Ia menyerukan agar aparat penegak hukum, baik di tingkat kepolisian, kejaksaan, maupun inspektorat, segera turun tangan untuk menyelidiki laporan yang beredar di masyarakat. FMPK, kata Syaparudin, telah melakukan pengumpulan data dan menemukan banyak titik rawan penyimpangan dalam realisasi anggaran desa tersebut.
Diketahui bahwa Dana Desa Kute Sange tahun 2023 berjumlah Rp773.455.000,- yang disalurkan dalam tiga tahap, yakni Rp326.236.500 pada tahap pertama, Rp229.036.500 pada tahap kedua, dan Rp208.182.000 pada tahap ketiga. Namun, berdasarkan pemantauan FMPK, alokasi dan realisasi dana tersebut dinilai tidak transparan, bahkan beberapa program penggunaan anggaran dinilai mencurigakan dari sisi efektivitas dan kemungkinan markup.
FMPK mencatat bahwa dana sebesar Rp35.307.250,- dialokasikan untuk penyertaan modal desa, sementara Rp33.892.180,- digunakan untuk pembangunan dan rehabilitasi sumber air bersih seperti mata air, tandon air hujan, dan sumur bor. Sebesar Rp12 juta digunakan untuk pemeliharaan fasilitas pengelolaan sampah desa, dan Rp23 juta untuk pemeliharaan sanitasi permukiman seperti gorong-gorong dan parit. Dukungan terhadap program rehabilitasi rumah tidak layak huni hanya mendapat porsi Rp3.395.000,- yang dinilai sangat tidak proporsional mengingat kondisi sosial ekonomi warga.
Dana untuk pemeliharaan sarana transportasi desa sebesar Rp2.480.000,- dan penyelenggaraan informasi publik seperti baliho serta laporan pertanggungjawaban senilai Rp1.000.000,- juga menjadi sorotan, karena tidak ada jejak visual atau bukti publikasi yang dapat diakses masyarakat. Penyelenggaraan posyandu menghabiskan anggaran Rp32.067.920,-, sementara sanggar seni dan sanggar belajar mendapat porsi yang mencolok, yakni Rp85 juta. FMPK mempertanyakan urgensi alokasi yang begitu besar terhadap sektor tersebut, sementara sektor lain yang menyentuh langsung kebutuhan dasar warga justru terabaikan.
Pendidikan anak usia dini atau PAUD mendapat Rp9.200.000,-, dan penyelenggaraan pendidikan nonformal seperti TPA dan TPQ sebesar Rp62.163.000,-. Namun yang paling mencurigakan adalah dana keadaan mendesak yang dicairkan empat kali dengan nilai masing-masing Rp24.300.000,-. Total Rp97.200.000,- dicairkan tanpa kejelasan peristiwa apa yang dianggap sebagai kondisi darurat, dan bagaimana mekanisme verifikasi kebutuhan tersebut dilakukan. FMPK menilai ini sebagai celah korupsi yang seringkali dipakai oleh oknum untuk menyerap dana secara instan tanpa proses audit publik yang layak.
Pengiriman kontingen kesenian dan kebudayaan desa menghabiskan Rp12.940.000,-, sementara pembangunan pos keamanan desa untuk ronda malam dan jadwal patroli mendapatkan Rp18 juta. Pembinaan PKK desa dialokasikan Rp11.100.000,- dan penyelenggaraan festival serta lomba kepemudaan mencapai Rp50.050.000,-. Alokasi ini dianggap tidak masuk akal mengingat skala desa yang kecil, sementara kebutuhan dasar seperti penguatan ketahanan pangan, sanitasi, dan pendidikan belum terjawab dengan memadai.
Dana peningkatan kapasitas kepala desa sebesar Rp30 juta, dan peningkatan produksi tanaman pangan seperti pengadaan alat penggilingan padi dan jagung menelan Rp152.691.000,-. Sementara itu, operasional pemerintahan desa yang bersumber dari dana desa berjumlah Rp22.103.650,-, termasuk penyusunan dokumen keuangan Rp4.955.000,- dan penyediaan sarana aset tetap perkantoran Rp22.800.000,-. Dana operasional BPD seperti rapat, seragam, dan alat tulis menelan Rp10 juta, sementara penghasilan tetap dan tunjangan untuk perangkat desa Rp6 juta dan untuk kepala desa Rp12 juta.
Syaparudin menyatakan bahwa FMPK tidak ingin pengelolaan dana publik menjadi ladang basah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab. Ia menegaskan bahwa pihaknya sedang menyiapkan laporan resmi ke penegak hukum disertai bukti awal dan analisis keuangan desa. “Kami ingin ini menjadi pelajaran bagi seluruh desa di Gayo Lues. Uang negara itu bukan warisan pribadi kepala desa. Harus ada akuntabilitas,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa masyarakat harus berani bersuara dan tidak takut melaporkan dugaan penyimpangan kepada lembaga berwenang. “FMPK akan terus mendampingi warga yang ingin melaporkan pelanggaran. Korupsi desa harus dilawan dari akar,” tegasnya.
FMPK berharap aparat penegak hukum tidak menutup mata terhadap persoalan ini. Ketika dana desa yang seharusnya menjadi motor pembangunan justru digunakan secara tidak jelas, maka efek domino kerusakan sosial akan sulit dihindari. Syaparudin menutup pernyataannya dengan ajakan kolaboratif: “Sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan APH adalah satu-satunya jalan agar pembangunan desa benar-benar berpihak pada rakyat, bukan segelintir elit.” (TIM)