Banda Aceh – Transparansi Tender Indonesia (TTI) mendesak Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), agar tidak asal tunjuk dalam memilih Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Zainoel Abidin (RSZA) Banda Aceh. Menurut TTI, posisi strategis tersebut harus diisi oleh sosok yang memiliki kompetensi, pengalaman, dan integritas tinggi dalam bidang kesehatan.
Koordinator TTI, Nasruddin Bahar, menilai penunjukan direktur RSZA tidak boleh dijadikan ajang bagi calo jabatan atau imbalan politik. “Rumah sakit sebesar RSZA bukan tempat uji coba jabatan. Ini institusi yang menyangkut keselamatan nyawa manusia. Gubernur Aceh harus menunjuk orang yang benar-benar paham manajemen kesehatan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis, 23 Oktober 2025.
Menurutnya, RSZA merupakan rumah sakit tipe A dengan status akreditasi paripurna, sehingga membutuhkan kepemimpinan yang berpengalaman dalam manajemen kesehatan, baik dari kalangan dokter maupun profesional dengan gelar magister kesehatan (M.Kes).
Nasruddin juga mengingatkan agar Gubernur Aceh tidak terjebak dalam praktik jual beli jabatan yang belakangan ramai dibicarakan publik. “Isu adanya ‘tarif jabatan’ untuk posisi eselon sudah menjadi perbincangan luas. Publik sekarang makin cerdas, bisa melihat siapa saja yang diangkat dan apakah mereka sesuai dengan latar belakang dan keahliannya. Jangan lagi rakyat dibodohi,” tegasnya.
Ia menilai, salah memilih pucuk pimpinan RSZA dapat berdampak buruk terhadap pelayanan kesehatan di Aceh. “Kalau yang dipilih bukan orang yang mengerti dunia kesehatan, tunggu saja kehancuran akan dituai. Rumah sakit besar seperti RSZA memiliki anggaran sangat besar, dan di situlah godaan kepentingan pribadi sering muncul,” katanya.
TTI menyoroti potensi penyimpangan dalam sistem pengadaan barang dan jasa di lingkungan rumah sakit yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah per tahun. Menurut Nasruddin, praktik fee proyek dari pihak ketiga, pengadaan alat kesehatan, hingga jasa cleaning service masih sering terjadi.
“Untuk tender jasa kebersihan saja, disinyalir ada yang berani memberi fee hingga 25 persen. Pengadaan alat kesehatan pun sering disisipi komitmen ‘cashback’ 20 persen. Ini bukan rahasia lagi,” ujarnya.
Selain itu, TTI menilai sistem e-purchasing dan e-katalog yang seharusnya memudahkan pengadaan barang, kini justru sering disalahgunakan oleh oknum pejabat untuk melakukan persekongkolan. “Dalam mini kompetisi e-katalog versi terbaru, hampir semua penawaran mendekati HPS. Itu indikasi kuat bahwa sistemnya dimanipulasi,” ungkap Nasruddin.
TTI meminta Gubernur Aceh memastikan proses penunjukan direktur RSZA berjalan transparan dan berbasis kompetensi. “Rumah sakit sebesar RSZA harus dipimpin oleh orang yang memiliki integritas, etika publik, dan pengalaman di dunia kesehatan, bukan oleh mereka yang hanya pandai melobi,” tutupnya.