BANDA ACEH | Seekor bayi gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) berusia kurang dari dua tahun mati setelah menjalani perawatan intensif selama lebih dari satu tahun di Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Kabupaten Aceh Besar. Gajah jantan itu diberi nama Panton, sesuai dengan lokasi penemuannya di Kabupaten Bener Meriah.
Panton mengembuskan napas terakhir pada Sabtu pagi, 11 Oktober 2025, sekitar pukul 10.05 WIB. Menurut keterangan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Ujang Wisnu Barata, kondisi kesehatan Panton memang terus menurun sejak satu bulan terakhir. Ia mengalami pembengkakan di area wajah dan mulut yang menyebabkan kesulitan makan dan minum.
Bayi gajah ini sebelumnya dievakuasi dalam kondisi lemah dan terpisah dari induknya setelah terseret arus sungai di wilayah Desa Panton, Bener Meriah. Saat ditemukan, usia Panton diperkirakan baru menginjak tiga bulan—umur yang masih sangat bergantung pada asupan nutrisi dan perlindungan dari induk.
Dalam masa rehabilitasi di PLG Saree, Panton dirawat dengan pengawasan penuh oleh tim medis dan para pawang gajah. Mereka memastikan kebutuhan nutrisi, suplemen, pakan, dan pola perawatan harian bayi gajah tersebut selalu terpenuhi. Namun, meski telah mendapat perawatan maksimal, kondisi fisik Panton terus memburuk dalam sebulan terakhir.
“Tim maupun pawang memberikan segala daya dan upaya agar bayi gajah Panton kembali pulih. Namun, tubuh kecil Panton akhirnya menyerah lunglai tidak berdaya lagi, dan akhirnya meninggal dunia,” ujar Ujang dari Banda Aceh, Rabu, 15 Oktober 2025.
Kematian Panton menjadi catatan pilu di tengah kondisi populasi gajah sumatra yang kian mengkhawatirkan. Satwa ini merupakan spesies yang hanya ditemukan di Pulau Sumatra dan masuk dalam daftar merah IUCN sebagai spesies yang terancam punah secara kritis.
Gajah sumatra yang hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan tropis semakin terdesak habitatnya akibat alih fungsi lahan, perburuan, dan pemasangan jerat oleh warga. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa kasus kematian gajah baik dewasa maupun anak, kerap terjadi di wilayah Aceh akibat konflik dengan manusia atau keracunan.
Upaya pelestarian tidak cukup hanya di tataran kebijakan dan pemulihan habitat. Masyarakat juga diimbau aktif menjaga kelangsungan hidup satwa ini dengan tidak melakukan perusakan hutan, tidak menangkap, melukai, atau membunuh, serta tidak memperniagakan bagian tubuh atau satwa liar dilindungi, baik dalam kondisi hidup maupun mati. Jerat dan racun yang kerap digunakan untuk melindungi kebun, juga menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan satwa endemik ini. (*)













































