Banda Aceh, 13 Oktober 2025 — Gerakan Mahasiswa Pemuda Banda Aceh (GMPB) mendesak penanganan yang lebih mendalam dan menyeluruh terhadap maraknya fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang belakangan menjadi sorotan di Banda Aceh. Organisasi ini menilai bahwa penyelesaian persoalan LGBT tidak dapat hanya dilakukan melalui jalur penegakan hukum, tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan moral, keagamaan, dan edukatif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Koordinator GMPB, Rizki Aulia Zulfareza, mengatakan bahwa maraknya kasus penggerebekan dan penindakan terhadap pelaku LGBT mencerminkan adanya krisis nilai yang memprihatinkan, khususnya di kalangan generasi muda. Ia menilai bahwa fenomena tersebut merupakan akibat dari lemahnya pendidikan akhlak, berkurangnya pengawasan dari lingkungan keluarga, serta gempuran budaya luar melalui media digital yang kerap mengaburkan batas antara kebebasan berekspresi dan penyimpangan nilai.
“Kami memandang isu ini bukan semata-mata pelanggaran terhadap hukum Syariat, tetapi juga perlu dilihat sebagai kegagalan pembinaan karakter yang seharusnya dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Perlu adanya penanganan yang holistik dan kolaboratif,” ujar Rizki dalam keterangan tertulis, Senin (13/10).
GMPB menyampaikan bahwa sebagai daerah yang menerapkan Syariat Islam, Aceh harus menjadi cermin bagi penegakan hukum yang adil, beradab, dan berlandaskan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Rizki menegaskan bahwa upaya penegakan Qanun Jinayat tetap penting dijalankan, namun proses pelaksanaannya perlu mengandung aspek mendidik, bukan sekadar menghukum.
“Kami mendukung aparat penegak hukum dan Wilayatul Hisbah dalam penegakan aturan Syariat Islam. Namun, kami juga mengingatkan agar cara pelaksanaannya tidak menimbulkan rasa takut berlebihan ataupun stigma sosial yang memperkeruh masalah. Tujuan Syariat adalah membina, bukan mempermalukan,” tegasnya.
Menurut GMPB, mahasiswa dan pemuda harus mengambil peran strategis dalam membantu pemerintah dan masyarakat mengatasi persoalan LGBT dengan cara yang konstruktif. Karena itu, GMPB terus mendorong lahirnya gerakan-gerakan edukatif seperti dakwah di lingkungan kampus, forum dialog remaja, seminar nilai-nilai moral, dan program pembinaan karakter yang relevan dengan konteks kekinian.
Untuk memperkuat pendekatan preventif, GMPB juga mengajukan beberapa rekomendasi kepada Pemerintah Kota Banda Aceh. Di antaranya adalah penguatan kurikulum pendidikan agama dan akhlak di sekolah dan perguruan tinggi, pelatihan bagi orang tua untuk meningkatkan pemahaman terkait perkembangan psikologis remaja, pembentukan pusat layanan konseling dan rehabilitasi, serta kampanye sosial dengan pendekatan syariah yang persuasif dan berbahasa kasih.
“Upaya preventif jauh lebih penting daripada tindakan setelah masalah muncul. Pemerintah harus berani membangun sistem pendidikan dan lingkungan sosial yang mampu menjadi benteng moral bagi generasi muda,” kata Rizki.
Meski menolak segala bentuk perilaku LGBT yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan budaya Aceh, GMPB dengan tegas mengecam tindakan kekerasan, persekusi, atau penghinaan terhadap individu mana pun. Penegakan hukum, menurut GMPB, harus dilakukan secara adil dan manusiawi, tidak mencederai rasa kemanusiaan.
“Islam tidak membenarkan perlakuan tidak manusiawi terhadap sesama. Oleh karena itu, kami menyerukan agar semua pihak tetap menjunjung tinggi prinsip kasih sayang dan keadilan dalam menegakkan Syariat. Jangan sampai penegakan hukum merusak citra Islam itu sendiri,” ujar Rizki.
GMPB juga mengajak semua pihak untuk menjadikan fenomena ini sebagai momentum evaluasi bersama. Dengan keterlibatan tokoh agama, akademisi, aparat, dan keluarga, Rizki berharap Banda Aceh dapat menjadi contoh bagaimana Syariat Islam ditegakkan secara bijak dan berperikemanusiaan.
“Mari bersatu memperkuat pendidikan moral dan karakter yang menjadi benteng utama mencegah penyimpangan. Banda Aceh harus menjadi teladan dalam mewujudkan masyarakat yang religius, toleran, dan berkeadilan,” tutupnya. (*)













































