MEDAN | Aksi Gubernur Sumatera Utara yang menghentikan dan mempersoalkan kendaraan truk bernomor polisi Aceh (BL) di wilayah Kabupaten Langkat menuai polemik di tengah masyarakat. Peristiwa tersebut terekam dalam sebuah video yang kemudian viral di media sosial dan memicu reaksi luas, terutama dari masyarakat Aceh.
Dalam video yang beredar, Gubernur Sumatera Utara tampak turun langsung didampingi seorang pejabat daerah, kemudian menghentikan truk berpelat BL yang tengah melintas di kawasan perbatasan Aceh Tamiang dan Langkat. Kepada sopir truk, rombongan meminta agar pelat kendaraan dipindah ke nomor polisi Sumut (BK) dengan dalih bahwa kendaraan tersebut beraktivitas di wilayah Sumatera Utara.
Menyusul viralnya video tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menyampaikan permohonan maaf atas reaksi publik yang timbul akibat aksi itu. Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sumatera Utara, Erwin Hotmansyah Harahap, menyatakan bahwa pihaknya tidak bermaksud melarang kendaraan dengan pelat luar beraktivitas di wilayah Sumut.
“Kami mohon maaf bila pesan yang sampai di masyarakat terkesan berbeda. Pemerintah provinsi berkomitmen untuk terus memperbaiki komunikasi publik dan selalu terbuka terhadap masukan dari masyarakat,” kata Erwin dalam keterangan tertulis, Senin (29/9).
Ia menjelaskan bahwa maksud dari pejabat yang tampak dalam video tersebut adalah mengajak pemilik kendaraan yang berdomisili dan menjalankan usaha tetap di wilayah Sumatera Utara untuk memindahkan registrasi kendaraannya ke pelat BK atau BB. Tujuannya, agar pendapatan dari pajak kendaraan dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan layanan publik di daerah tersebut.
“Yang ingin disampaikan adalah ajakan kepada pemilik kendaraan yang memang berdomisili dan berusaha di Sumatera Utara, agar menggunakan pelat BK atau BB. Pajak kendaraan itu akan kembali sebagai pembiayaan fasilitas umum di Sumut,” jelasnya.
Meski telah ada klarifikasi dan permintaan maaf, peristiwa ini tetap menuai respons tegas dari berbagai pihak. Anggota DPR RI Dapil Aceh, Nasir Djamil, menjadi salah satu tokoh yang mengecam keras tindakan tersebut. Ia menyebut kebijakan yang dijalankan oleh Gubernur Sumatera Utara sebagai upaya yang bertentangan dengan prinsip nasionalisme dan bisa merusak keharmonisan antarwilayah.
“Cabut kebijakan itu segera, sebab kebijakan itu adalah produk yang mengingkari keharmonisan antardaerah. Tanyakan kepada Gubernur, apakah STNK itu produk nasional atau daerah?” ujar Nasir dalam pernyataannya pada Senin (29/9).
Menurutnya, kendaraan dengan pelat nomor dari provinsi mana pun di Indonesia memiliki hak penuh untuk melintas dan beroperasi di seluruh wilayah negara. Ia mengingatkan bahwa pembangunan ruas-ruas jalan di berbagai provinsi dibiayai oleh APBN dan APBD yang bersumber dari pajak seluruh rakyat Indonesia.
“Semua ruas jalan di Indonesia ada uang rakyat di dalamnya,” tegasnya.
Anggota Komisi III DPR RI itu juga mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak apabila kebijakan diskriminatif tersebut tetap dipertahankan. Ia menilai aparat kepolisian berwenang mengambil tindakan terhadap pihak mana pun yang mengganggu ketertiban umum dan merusak kesatuan sosial antarwilayah.
“Kalau ada yang salah dari pengangkutan, ada pihak berwenang yang menindak. Bukan malah membuat kebijakan yang membenturkan warga antardaerah,” ujarnya.
Polemik ini menjadi sorotan nasional karena menyentuh prinsip dasar hubungan antarwilayah di dalam negara kesatuan. Pada saat yang sama, isu ini menyoroti pentingnya kehati-hatian pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan yang berdampak lintas provinsi, terutama dalam konteks pemulihan ekonomi, mobilitas logistik, dan stabilitas sosial di tanah air. (*)