JAKARTA | Kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap jurnalis kembali terjadi, menambah panjang catatan kelam ancaman terhadap kemerdekaan pers di Indonesia. Kasus pengeroyokan delapan wartawan di Serang, Banten, pada Kamis (21/8/2025), masih segar dalam ingatan. Para jurnalis yang meliput inspeksi mendadak Kementerian Lingkungan Hidup terkait dugaan pelanggaran pengelolaan limbah B3 dikeroyok, bersama staf humas KLH yang juga mengalami luka. Beberapa anggota Brimob ditetapkan sebagai tersangka, sementara banyak pihak mengecam aksi kekerasan itu dan menuntut pengusutan tuntas.
Empat hari kemudian, kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi di Jakarta pada Senin siang (25/8/2025). Bayu Pratama menjadi korban saat meliput demonstrasi di depan Gedung DPR. Bayu dipukul seorang polisi menggunakan pentungan saat mengarahkan kameranya ke aparat yang membubarkan massa demonstran. Lengannya terluka dan lensanya rusak akibat refleks menangkis pukulan. Meski mengenakan helm bertuliskan pers dan membawa kartu identitas, ia tetap menjadi sasaran kekerasan aparat.
Usai kejadian, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya menemui Bayu untuk menyampaikan permintaan maaf atas nama institusi. Namun, Bayu menegaskan, maaf institusi tidak cukup. Ia menuntut jaminan keselamatan bagi wartawan yang bertugas di lapangan. Ia menekankan perlunya edukasi bagi personel kepolisian agar memahami kehadiran jurnalis saat mengamankan demonstrasi dan tidak melakukan tindakan represif.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mendesak Kepolisian Republik Indonesia dan Polda Metro Jaya mengusut tuntas kasus ini secara transparan. Ketua AJI Jakarta menegaskan bahwa kekerasan terhadap wartawan adalah pelanggaran pidana sekaligus serangan terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurutnya, Kapolri harus mengevaluasi prosedur penanganan demonstrasi dengan mengedepankan hak asasi manusia dan menghentikan tindakan represif yang mengancam keselamatan jurnalis.
Data AJI menunjukkan sepanjang 2025 terdapat 52 kasus kekerasan terhadap jurnalis, sembilan di antaranya diduga melibatkan polisi. Pada 2024, terdapat 19 kasus kekerasan yang juga melibatkan aparat. Beberapa bulan lalu, jurnalis Makna Zaezar dipukul pengawal Kapolri saat meliput arus balik Lebaran di Semarang, Jawa Tengah. Pelaku telah meminta maaf, namun peristiwa tersebut menambah panjang catatan impunitas kekerasan terhadap wartawan.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers mengutuk praktik pengamanan yang mengedepankan kekerasan. Menurutnya, polisi gagal menjalankan amanat UU Pers untuk melindungi jurnalis. Ia menekankan perusahaan pers wajib mendukung wartawan korban kekerasan, karena proses damai yang hanya meminta maaf tidak memberi efek jera dan justru menormalisasi praktik represif. “Kejahatan terhadap kemerdekaan pers sejatinya adalah kejahatan terhadap publik dalam memenuhi hak dasar warga negara untuk tahu,” ujar dia.
Kasus Bayu Pratama dan delapan jurnalis di Serang menjadi pengingat penting bahwa tanpa tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan, ancaman terhadap kemerdekaan pers akan terus berulang. Kekerasan terhadap wartawan bukan hanya persoalan individu, tetapi mencerminkan lemahnya perlindungan hukum dan keberlangsungan praktik impunitas di lapangan, yang harus segera dihentikan demi tegaknya hak masyarakat atas informasi. (*)













































