Aceh Tenggara — Maraknya klaim penggunaan nama dan logo Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) di media sosial maupun di tengah masyarakat belakangan ini menuai reaksi serius dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) LIRA Kabupaten Aceh Tenggara.
Dalam pernyataan resminya, Bupati DPD LIRA Aceh Tenggara, M. Saleh Selian, menegaskan bahwa satu-satunya lembaga yang secara sah menggunakan nama Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) adalah organisasi yang dipimpin oleh Andi Syafrani, sebagaimana telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (Kemenkumham RI).
Siapa yang Sah Menggunakan Nama LIRA?
Menurut Saleh Selian, satu-satunya entitas yang berhak menggunakan nama LIRA dengan kepanjangan Lumbung Informasi Rakyat, serta logo khas berupa Rumah dengan Sembilan Butir Padi, adalah organisasi yang saat ini diketuai oleh Andi Syafrani, seorang pakar hukum tata negara dari UIN Jakarta yang juga pernah menjadi kuasa hukum pasangan Jokowi-Ma’ruf pada sengketa Pilpres 2019.
Organisasi tersebut telah memperoleh pengesahan sebagai badan hukum melalui SK Kemenkumham Nomor AHY-0032287.AH.01.07 Tahun 2016, serta memiliki sertifikat merek terdaftar atas nama LIRA, dengan logo resmi yang tercatat pada 14 April 2016 melalui nomor pendaftaran IDM000637885.
Apa Perbedaan dengan LSMLIRA INDONESIA?
Menanggapi keberadaan organisasi yang mengatasnamakan diri sebagai LSMLIRA INDONESIA, Saleh menegaskan bahwa entitas tersebut bukan bagian dari LIRA, dan tidak memiliki keterkaitan hukum maupun struktural dengan Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) yang sah.
LSMLIRA INDONESIA didaftarkan sebagai organisasi berbeda dengan dasar hukum SK Kemenkumham Nomor AHU-0060963.AH.01.07.Tahun 2016, dan dalam dokumen tersebut tidak disebutkan nama “Lumbung Informasi Rakyat”, serta tidak memiliki hak menggunakan nama atau logo LIRA.
“Logo Rumah Sembilan Butir Padi adalah hak eksklusif milik LIRA yang sah. Bahkan, permohonan penggunaan logo tersebut oleh LSMLIRA INDONESIA pernah ditolak oleh Kesbangpol Linmas Sulawesi Utara, karena tidak sesuai dengan SK Kemenkumham. Akibat tidak diperkenankan memakai logo itu, mereka membuat versi sendiri, yaitu logo berwarna hitam-merah bertuliskan LIRA. Ini patut dipertanyakan keabsahannya,” jelas Saleh.
Sejarah dan Legalitas Organisasi LIRA
Saleh juga menjelaskan bahwa LIRA didirikan pada 16 Januari 2006 oleh beberapa tokoh nasional seperti Jusuf Rizal, Ahmat Purnadi Hadiwagito, Hasyim Arif, Amirsyah Rahman, dan Hendrik Sitompul, berdasarkan Akta Notaris Abdul Majid No. 14/2026. LIRA merupakan kelanjutan dari Blora Center, tim pemenangan SBY-JK pada Pilpres 2004.
Pada tahun 2009, LIRA mencatatkan diri dalam Rekor MURI sebagai organisasi dengan jaringan terluas di Indonesia. “Rekor tersebut adalah milik organisasi LIRA, bukan milik individu,” tegas Saleh.
Secara kepemimpinan, LIRA telah melalui tiga periode:
-
Jusuf Rizal (2006–2015)
-
Ollies Datau (2015–2020)
-
Andi Syafrani (2022–sekarang), yang terpilih melalui Munas III di Batam, dan disaksikan langsung oleh anggota Wantimpres RI, Sidarto Danusubroto.
Mengapa Penegasan Ini Penting?
Bupati LIRA Aceh Tenggara itu juga mengimbau semua pihak untuk menghormati dan tunduk pada SK resmi Kemenkumham, serta tidak sembarangan mengatasnamakan LIRA tanpa dasar hukum yang sah. Ia juga meminta agar instansi pemerintah, khususnya di Aceh Tenggara, termasuk Kesbangpol Linmas, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap legalitas organisasi yang menggunakan nama dan atribut LIRA secara tidak sah.
“Ini bukan soal persaingan organisasi, tetapi soal keabsahan hukum. Kami menegaskan bahwa hanya LIRA di bawah kepemimpinan Andi Syafrani yang memiliki hak legal atas nama dan atribut Lumbung Informasi Rakyat. Kami berharap semua pihak yang tidak memiliki dasar hukum menghentikan klaim sepihak atas nama dan logo LIRA,” pungkas Saleh.
(Laporan: Sadikin)