Membangun Indonesia Emas 2045: Relly Reagen Desak Pemerintah Wujudkan Revolusi Infrastruktur Pendidikan Nasional

Redaksi Bara News

- Redaksi

Minggu, 25 Mei 2025 - 16:27 WIB

50351 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

JAKARTA — Dalam upaya membangun bangsa menuju peringatan 100 tahun kemerdekaan pada 2045, istilah “Indonesia Emas” telah menjadi slogan yang kerap terdengar dalam berbagai pidato kenegaraan, seminar, maupun dokumen kebijakan nasional. Namun di balik gegap gempita narasi tersebut, terdapat kegelisahan yang tak bisa disembunyikan mengenai kesiapan bangsa ini, terutama dalam hal pembangunan sumber daya manusia. Salah satu suara kritis datang dari Sekretaris Jenderal Barisan Relawan Jokowi Presiden (BARA JP), Relly Reagen, yang dengan tegas menyuarakan keprihatinannya terhadap ketimpangan dan keterbatasan infrastruktur pendidikan di berbagai penjuru Indonesia.

Dalam pernyataannya yang disampaikan kepada media pada Minggu, 25 Mei 2025, Relly menilai bahwa pembangunan pendidikan di Indonesia selama ini masih berkutat pada tataran simbolik dan retoris. Ia menganggap bahwa wacana Indonesia Emas 2045 cenderung digunakan sebagai alat propaganda politik jangka pendek tanpa diiringi keseriusan dalam menyusun fondasi nyata untuk mencapainya. Pendidikan, sebagai pilar utama pembangunan peradaban, justru luput dari perhatian yang sungguh-sungguh.

Menurut Relly, permasalahan utama bukanlah kekurangan ide, tetapi kurangnya komitmen dan eksekusi konkret. Ia menyebut bahwa selama puluhan tahun, berbagai program perbaikan pendidikan telah diluncurkan, mulai dari BOS, KIP, revitalisasi SMK, hingga digitalisasi sekolah. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa disparitas infrastruktur antara daerah maju dan tertinggal masih menganga lebar. Di beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Timur, Papua, atau wilayah perbatasan Kalimantan, anak-anak masih harus berjalan kaki berjam-jam melewati hutan atau sungai hanya untuk sampai ke sekolah. Bangunan kelas yang reyot, sanitasi yang buruk, ketiadaan laboratorium, serta minimnya tenaga pengajar tetap menjadi pemandangan harian yang menyayat nurani.

Lebih lanjut, Relly menekankan bahwa kualitas pendidikan bukan sekadar soal pembangunan gedung sekolah. Ia menggarisbawahi pentingnya kehadiran guru yang kompeten, kurikulum yang relevan dengan perkembangan zaman, serta akses terhadap teknologi pendidikan modern yang menjembatani kesenjangan informasi antara kota dan desa. Namun faktanya, distribusi guru masih belum merata, banyak guru honorer yang dibayar tidak layak, dan di sejumlah wilayah, siswa masih belajar tanpa buku teks yang memadai.

Relly juga mengangkat persoalan ketimpangan digital, yang menjadi tantangan besar di era transformasi teknologi saat ini. Ia menyoroti bahwa program digitalisasi pendidikan yang digencarkan pemerintah justru berpotensi memperparah ketimpangan jika tidak disertai dengan penyediaan infrastruktur dasar seperti listrik dan internet. Banyak sekolah di pelosok tidak memiliki jaringan internet stabil, bahkan listrik pun hanya menyala beberapa jam sehari. Dalam kondisi seperti ini, bicara tentang tablet, e-learning, atau platform digital hanya menjadi mimpi yang menjauhkan mereka dari kenyataan pendidikan yang setara.

Kritik tajam juga diarahkan Relly pada manajemen anggaran pendidikan. Meski konstitusi mengamanatkan alokasi minimal 20 persen dari APBN, ia menilai bahwa penggunaan anggaran ini masih sering terjebak pada proyek-proyek infrastruktur fisik yang tidak berkelanjutan. Ia menyoroti banyak kasus pembangunan sekolah baru yang mangkrak, pengadaan barang yang tidak tepat guna, serta lemahnya pengawasan terhadap realisasi anggaran di daerah. Menurutnya, efisiensi dan integritas dalam tata kelola anggaran pendidikan adalah hal krusial yang selama ini masih lemah.

Dalam pandangannya, ketimpangan pendidikan sejatinya merupakan manifestasi dari ketidakadilan sosial struktural. Relly berpendapat bahwa pendidikan harus dilihat bukan sekadar sebagai urusan teknis, tetapi sebagai isu keadilan dan hak asasi manusia. Ia menyatakan bahwa setiap anak Indonesia, di manapun mereka dilahirkan, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Negara, sebagai pemegang mandat konstitusi, wajib hadir dan memastikan hak itu terpenuhi, bukan hanya melalui kebijakan, tetapi lewat aksi nyata yang dirasakan langsung oleh rakyat.

Lebih dari itu, Relly mengingatkan bahwa tanpa pendidikan yang merata dan bermutu, mimpi besar Indonesia menjadi negara maju hanyalah angan-angan kosong. Bonus demografi yang kini mulai dinikmati Indonesia justru bisa menjadi beban demografi jika generasi muda tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan yang memadai untuk bersaing dalam ekonomi global. Ia mencontohkan bahwa saat ini saja, banyak lulusan SMA dan perguruan tinggi yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena tidak memiliki keahlian praktis yang dibutuhkan dunia industri. Padahal, kualitas SDM adalah kunci dalam menarik investasi, mengembangkan inovasi, dan memperkuat daya saing bangsa.

Relly juga menekankan bahwa tanggung jawab membangun pendidikan bukan hanya di tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah harus diberi peran lebih besar dalam merancang dan menjalankan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik lokal. Ia menyarankan adanya desentralisasi yang lebih fleksibel dalam pengelolaan pendidikan, namun tetap dalam kerangka standar nasional yang kuat. Selain itu, kolaborasi dengan sektor swasta, LSM, komunitas lokal, dan tokoh agama perlu terus didorong agar pendidikan benar-benar menjadi gerakan sosial yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.

Ia menutup pernyataannya dengan ajakan kepada semua elemen bangsa untuk berhenti berpolemik dan mulai bekerja dalam semangat gotong royong. Menurutnya, waktu menuju 2045 semakin sempit, dan jika bangsa ini tidak segera membenahi fondasi pendidikan, maka kita bukan hanya akan gagal memanfaatkan momentum sejarah, tetapi juga akan kehilangan kepercayaan generasi muda terhadap negara.

“Mari kita jadikan pendidikan sebagai prioritas utama, bukan sekadar pelengkap visi pembangunan. Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi kenyataan jika kita berani membangun generasi emas dari hari ini, dari ruang kelas yang layak, dari guru-guru yang sejahtera, dan dari kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial,” tegas Relly.

Dengan semangat itu, BARA JP menyatakan komitmennya untuk terus mengawal jalannya reformasi pendidikan, mendesak kebijakan yang lebih progresif dan inklusif, serta memastikan bahwa tidak ada satu pun anak Indonesia yang tertinggal dalam perjalanan menuju masa depan gemilang yang telah lama dijanjikan. (And/PR)

Berita Terkait

SK Mendagri Bikin Gempar, DPR dan DPD Aceh Minta Presiden Segera Cabut
Menteri Nusron Paparkan Peran Strategis Mahasiswa dalam Perubahan Pertanahan dan Tata Ruang. Kuliah Pakar UNUSA
Gaji Pengurus dan Pengawas Koperasi Merah Putih Jadi Perbincangan, Benarkah Bisa Capai Rp15 Juta?
Peralihan Empat Pulau Aceh ke Sumut Dinilai Sebagai Kesewenang-wenangan Pemerintah Pusat, Anggota DPD Azhari Cage Turun Tangan
perasi Gabungan TNI-Polri Gagalkan Penyelundupan Sabu Senilai Rp5 Triliun di Perairan Kepri
Rapat Panas Komisi IX, Menkes Budi Ditegur soal Penyampaian yang Mengundang Polemik
Bareskrim Jadi Medan Tempur Baru, PDIP Polisikan Menteri Budi Arie
BARA JP: Pengangkatan Letjen (Purn) Djaka Budi Utama Sebagai Dirjen Bea Cukai Adalah Keputusan Tepat Presiden Prabowo