JAKARTA — Kepolisian Republik Indonesia membongkar sindikat penipuan berprofil tinggi yang membobol rekening dormant atau rekening tidak aktif di salah satu bank milik negara. Uang senilai Rp 204 miliar yang berhasil digasak para pelaku disita dan dipamerkan ke publik pada Kamis (26/9/2025). Namun, fakta lebih mengejutkan muncul: nilai fantastis tersebut ternyata sempat ditukar ke dalam bentuk valuta asing sebelum dialihkan ke rekening penampungan lain.
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri mengungkap bahwa praktik pencucian uang ini dilakukan secara sistematis. Sejumlah nama tersangka kini telah ditetapkan, dengan jaringan yang melibatkan oknum perbankan hingga pelaku pencucian uang lintas sektor.
“Untuk bentuk pencucian uangnya, yaitu salah satunya dengan menukarkan uang tersebut dengan uang valas yang dipindahkan ke rekening pihak lain yang menjadi penampungan,” ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Helfi Assegaf, di Gedung Bareskrim Polri, Kamis.
Helfi menambahkan, pihaknya telah memeriksa sejumlah penjual valuta asing atau money changer yang diduga terlibat dalam alur pemindahan dana ilegal tersebut. Penyelidikan pun diperluas untuk menggali informasi tentang maksud dan tujuan di balik aksi kejahatan finansial berskala besar ini.
“Mereka tidak menyampaikan secara jelas untuk apa uang itu digunakan, tetapi kita dapat informasi bahwa ada pembagian hasil setelah transaksi selesai dilakukan,” ujar Helfi.
Sindikat menjalankan aksinya dengan menyamar sebagai petugas dari satuan tugas khusus. Dengan menggunakan atribut dan dokumen palsu, mereka mendatangi kantor cabang pembantu (KCP) Bank BNI di wilayah Jawa Barat. Pelaku mengintimidasi kepala cabang dan pegawai bank agar menyerahkan akses ke sistem core banking.
Yang dibidik adalah rekening dormant milik seorang pengusaha tanah berinisial S. Ia diketahui lama tidak mengakses rekening tersebut, sehingga menjadi target empuk bagi pelaku.
“Pemilik rekening tersebut atas nama S. Ia seorang pengusaha tanah, namun untuk detail identitasnya kami belum bisa sampaikan ke publik,” kata Helfi.
Setelah mendapatkan kredensial sistem perbankan melalui tekanan dan ancaman, pelaku secara in absentia — tanpa harus hadir secara fisik di bank — mengalihkan dana besar tersebut ke rekening lain di luar jam operasional bank. Transaksi mencurigakan itu akhirnya terdeteksi oleh sistem monitoring pihak bank, yang kemudian dilaporkan ke Bareskrim Polri.
Total terdapat sembilan orang tersangka dalam kasus ini. Dua di antaranya merupakan karyawan bank, yakni AP (50), Kepala Cabang Pembantu, dan GRH (43), Consumer Relations Manager. Mereka diduga membuka akses kepada pelaku eksternal.
Lima orang lainnya adalah eksekutor utama pembobolan, yakni C (41), DR (44), NAT (36), R (51), dan TT (38). Sementara dua tersangka lainnya — DH (39) dan IS (60) — disebut berperan dalam proses pencucian uang.
“DH dan C ini sebelumnya juga terkait dalam kasus pembunuhan Kepala Cabang Bank BRI Cempaka Putih. Jadi mereka beroperasi lintas kasus dan lintas institusi,” ujar Helfi.
Polisi juga kini memburu satu tersangka buron berinisial D yang disebut sebagai otak intelektual dalam sindikat ini.
Para tersangka dijerat dengan berbagai pasal berlapis dari tindak pidana perbankan, kejahatan digital, hingga pencucian uang. Termasuk di antaranya Pasal 49 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan jo. Pasal 55 KUHP dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 200 miliar. Selanjutnya, Pasal 46 ayat (1) jo. Pasal 30 ayat (1) UU ITE, dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda Rp 600 juta. Juga Pasal 82 dan 85 UU Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana, dengan ancaman 20 tahun penjara dan denda Rp 20 miliar. Lalu, Pasal 3, 4, dan 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TTPU) dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp 10 miliar.
Pengungkapan kasus ini sekaligus menjadi cermin atas celah besar dalam sistem pengawasan sektor perbankan nasional, khususnya terkait rekening dormant. Rekening yang tidak aktif memang kerap luput dari pengawasan, meskipun nilainya bisa sangat besar.
Helfi menyebutkan bahwa para pelaku menggunakan modus di luar dugaan: menjalankan aksi peretasan finansial tanpa satu pun perangkat lunak, cukup dengan pendekatan psikologis, atribut pejabat palsu, dan dokumen rekayasa.
“Ini bukti bahwa kejahatan perbankan hari ini tidak selalu digital. Mereka menggunakan pendekatan manipulatif dan intimidatif, bukan teknologi tinggi,” kata dia.
Polisi mengimbau agar masyarakat aktif memantau kondisi rekening mereka dan memberikan perhatian lebih pada dana yang dibiarkan tidak bergerak terlalu lama. Pihak bank pun didorong untuk memperkuat sistem verifikasi dan kontrol internal, agar tidak mudah dimanipulasi oleh pihak eksternal — apalagi yang hanya bersandar pada klaim jabatan institusional.
Sebagai langkah lanjutan, Kepolisian akan bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Bank Indonesia untuk menutup celah pada regulasi pengelolaan rekening dormant, serta memperkuat sistem deteksi transaksi keuangan tidak wajar di sektor formal dan informal.
“Pemilik uang harus waspada. Uang yang dibiarkan tidur bisa berubah jadi target kejahatan. Bangunkan dia, jaga dia, atau ada orang lain yang akan ‘membangunkannya’ untuk Anda,” pungkas Helfi.