JAKARTA| Presiden Prabowo Subianto meminta agar persoalan keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak dijadikan alat politisasi. Ia menegaskan bahwa tujuan utama dari program tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak Indonesia, terutama yang berasal dari keluarga kurang mampu.
“Harus waspada, jangan sampai ini dipolitisasi. Tujuan makan bergizi ini untuk anak-anak kita. Yang sering sulit makan. Mungkin kita ini makan lumayan, mereka itu makan hanya nasi pakai garam,” ujar Presiden kepada wartawan di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu (27/9/2025).
Presiden mengatakan, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyiapkan makanan bergizi seimbang bagi jutaan anak. Diakuinya, terdapat berbagai hambatan dan kekurangan dalam implementasi program MBG, namun hal itu dinilai wajar mengingat skala program yang sangat besar. Ia meyakini, tantangan yang muncul dapat segera diatasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Untuk memberi makan jutaan anak pasti ada hambatan dan rintangan. Ini kita atasi. Ini masalah besar, jadi pasti ada kekurangan dari awal. Tapi saya yakin bahwa kita akan selesaikan dengan baik,” katanya menegaskan.
Selama melakukan lawatan luar negeri, Presiden memastikan tetap memantau perkembangan pelaksanaan program MBG. Ia juga menyatakan akan segera memanggil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindaya dan sejumlah pejabat terkait untuk membahas lebih lanjut insiden keracunan di beberapa daerah.
“Saya baru dari luar negeri tujuh hari. Saya monitor ada perkembangan itu. Habis ini saya langsung akan panggil Kepala BGN dan beberapa pejabat, kita akan diskusikan,” ujar Presiden.
Staf Khusus BGN, Redy Hendra Gunawan, menjelaskan bahwa hingga September 2025, program MBG telah menjangkau 30 juta penerima manfaat. Pemerintah menargetkan angka tersebut meningkat menjadi 82,9 juta orang hingga akhir tahun. Saat ini, terdapat sekitar 9.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang beroperasi, dengan target sebanyak 30.000 unit.
Redy menyampaikan, program ini tidak hanya berdampak pada pemenuhan gizi anak dan ibu hamil, tetapi juga berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja serta mendukung sektor pertanian lokal. Sayuran dan telur di pasar-pasar diserap oleh SPPG, yang pada gilirannya menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat.
“Tenaga kerja yang diserap per SPPG bisa mencapai 50 orang. Kalau ada 10.000 SPPG, artinya sekitar 500 ribu orang terlibat langsung. Di beberapa lokasi, satu SPPG disuplai oleh sepuluh supplier, dan masing-masing supplier bisa mempekerjakan lima orang,” ujarnya.
Redy mencontohkan pengalaman di Bandung, Jawa Barat, di mana tiga unit SPPG membutuhkan pasokan dari sekitar 87 petani untuk memenuhi kebutuhan MBG secara rutin. Menurutnya, keterlibatan petani desa dalam rantai pasok MBG menunjukkan bahwa program ini memberikan manfaat ekonomi yang nyata.
Ia mengakui bahwa dalam pelaksanaannya, program MBG masih memiliki sejumlah kekurangan. Namun, Redy menilai pencapaian sejauh ini cukup signifikan mengingat waktu pelaksanaan yang baru berlangsung kurang dari satu tahun.
“Dalam perjalanannya, kita baru menjalankan program ini pada tahun 2025. Saya kira capaian luar biasa. Dalam 10 bulan sudah menjangkau 30 juta orang. Banyak kekurangan, iya, dan tentu butuh masukan. Namun ini punya dampak signifikan,” ujarnya.


































