GAYO LUES, BARANEWS | Dari hutan-hutan yang menyelimuti Kecamatan Pantan Cuaca, Gayo Lues, suara perlawanan petani menggema menembus kabut pegunungan. Tanggal 16 Juni 2025, mereka menulis sebuah surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Surat itu bukan sekadar petisi—tetapi deklarasi sikap dari komunitas petani kopi Arabika Gayo yang menyatakan satu hal: tolak tambang, cabut izin PT Gayo Mineral Resources (GMR).
Yang mereka lawan bukan hanya mesin dan ekskavator. Tapi sistem. Sebuah sistem yang memungkinkan perusakan lingkungan dilegalkan atas nama investasi. Sebuah sistem yang membuat air keruh mengalir ke sawah mereka, dan hutan lindung yang selama ini mereka jaga, berubah menjadi tanah gersang penuh jejak alat berat.
Warga pertama kali menyadari ada yang tak beres saat menemukan genangan air berwarna keabu-abuan dengan kilap logam di satu titik hutan lindung. Genangan itu pelan-pelan mengalir ke saluran air yang bermuara ke Kenyaran. Warga menyebut air itu berubah: keruh, berbau, dan tak layak pakai. Mereka menduga itu berasal dari aktivitas pengeboran PT GMR, yang melakukan eksplorasi emas di tengah kawasan lindung. Di lokasi tak tampak sistem pengendalian limbah, tidak ada bak penampungan, tidak ada filter. Lumpur terlihat langsung mengalir ke anak sungai, membawa kemungkinan kontaminasi zat berbahaya seperti arsenik dan merkuri.
Sekretaris Lembaga Leuser Aceh (LLA), Abdiansyah, angkat suara: “Kami sangat prihatin. Air yang tercemar itu bukan hanya merusak ekosistem, tapi juga mengancam keselamatan warga.” Ia menegaskan bahwa eksplorasi tak bisa hanya mengandalkan selembar izin. Fakta di lapangan tak bisa dibantah.
Dan fakta itu jauh lebih gelap dari sekadar pencemaran air. Investigasi LLA menemukan anomali fatal dalam legalitas PT GMR. Dalam dokumen resmi, lokasi eksplorasi disebut berada di “Blok Lokop, Aceh Timur.” Namun lokasi aktual justru berada di Kenyaran, Kecamatan Pantan Cuaca, Gayo Lues. Bahkan peta kerja perusahaan menggunakan koordinat wilayah dari Maluku Utara—ribuan kilometer dari lokasi sebenarnya. “Ini bukan sekadar salah koordinat. Ini manipulasi,” kata Abdiansyah.
Dengan peta palsu, dengan lokasi fiktif, perusahaan tetap berhasil mengantongi izin eksplorasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) lewat SK Menteri Nomor 263 Tahun 2025. Namun izin itu menabrak berbagai aturan hukum: tidak ada dokumen AMDAL yang dipublikasikan, tidak ada IPPKH, tidak ada keterbukaan wilayah kerja, dan yang paling parah—tidak ada konsultasi publik dengan desa terdampak.
Hutan lindung yang diserobot PT GMR adalah bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), jantung konservasi Sumatera yang masuk dalam World Heritage Site versi UNESCO. Tapi perlakuan terhadap kawasan ini seperti terhadap tanah tak bertuan. Ketika air sungai mulai berubah warna dan suara binatang menghilang, warga baru sadar bahwa mereka tak pernah dimintai pendapat. Mereka tak pernah diajak bicara. Ekskavator datang seperti maling malam hari.
Ketua Komisi I DPRK Gayo Lues, H. Ibnu Hasim, menolak anggapan bahwa DPRK turut membekingi tambang. “Jangan salahkan wakil rakyat. Bongkar siapa yang beri izin!” ujarnya tegas. Ia mengingatkan bahwa izin tambang adalah kewenangan eksekutif, dari tingkat kabupaten hingga kementerian pusat. Ia bahkan menantang publik dan media membuka siapa yang bertanggung jawab di balik izin tersebut. “Kalau legal, kenapa sembunyi-sembunyi? Kalau ilegal, kenapa dibiarkan?”
Skandal ini tak berhenti pada kerusakan fisik. Ia juga mengguncang tatanan sosial. Petani di Pantan Cuaca kini menghadapi ketakutan ganda: air tak lagi bisa diminum, dan kopi mereka terancam kehilangan pasar global. Kopi Gayo dari kawasan ini bukan sembarang kopi. Ia pernah jadi juara tiga dunia versi SCAA 2018. Ia masuk dalam satu sertifikat indikasi geografis bersama Aceh Tengah dan Bener Meriah. Jika satu rusak, semuanya ikut rusak.
Sekitar 5.000 hektare kebun kopi terancam. Lebih dari 5.000 petani tergantung pada komoditas ini. Jika kopi mereka dianggap mengandung residu logam berat karena pencemaran tambang, maka ekspor akan terhenti. Maka musnah pula penghidupan yang ditanam dengan susah payah dari lereng ke lereng.
LLA secara resmi mendesak pencabutan izin PT GMR. Mereka mendorong KLHK, Gubernur Aceh, Balai Gakkum, dan Ombudsman RI untuk turun tangan. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta mengusut kemungkinan adanya kolusi dalam proses terbitnya izin eksplorasi. “Kami khawatir ada persekongkolan antara birokrasi dan korporasi. Jika terbukti, ini masuk ranah pidana korupsi,” kata Abdiansyah.
Skandal PT GMR menjadi cermin betapa rapuhnya benteng hukum di kawasan konservasi yang seharusnya dijaga negara. Dari ruang ber-AC di Bakrie Tower, Jakarta Selatan—markas PT GMR—dikeluarkan keputusan-keputusan yang mencabik tanah adat di Leuser. Tanpa dialog. Tanpa etika. Tanpa tanggung jawab.
Kini, hutan berguguran. Sungai menghitam. Binatang menghilang. Dan petani hanya bisa menatap lahan yang perlahan mati.
Petani Pantan Cuaca telah menyampaikan suratnya. Mereka akan terus melawan, sampai izin itu dicabut. Sebab jika negara diam, jika aparat bungkam, maka sejarah akan mencatat: bahwa Kawasan Ekosistem Leuser, paru-paru terakhir Sumatera, dijual dalam senyap—oleh tangan-tangan yang seharusnya menjaganya.
Dan siapa pun yang menambang di atas hutan ini tanpa hati, sesungguhnya sedang menambang kuburan bagi masa depan kita semua.
Laporan : Tim Investigasi Bara News