GAYO LUES | Selama dua pekan terakhir, denyut kemanusiaan terus berdetak di pedalaman Gayo Lues, Aceh. Di tengah medan berat pascabanjir bandang dan tanah longsor, tim medis tak mengenal lelah menembus desa-desa terisolasi. Mereka hadir membawa lebih dari sekadar obat dan perban—juga harapan bagi ribuan warga yang terdampak bencana.
Medan terjal dan curam akibat longsoran tanah yang menutup jalur utama tidak menyurutkan semangat tim kesehatan ini. Selama 14 hari berturut-turut, mereka bergerak menyusuri jalanan sempit yang rusak dan nyaris putus, menempuh perjalanan kaki berjam-jam menembus perbukitan dan lembah terjal menuju titik-titik terdampak yang sulit dijangkau kendaraan.
Dikutip dari Kompas TV, Desa Tetumpun di Kecamatan Putri Betung menjadi salah satu tujuan penting tim dalam misi kemanusiaan ini. Terpencil di balik deretan bukit, akses ke desa ini sempat benar-benar tertutup setelah longsor memutus jalan masuk. Namun tim medis tetap melangkah, membawa ransel berisi logistik kesehatan sambil memikul tanggung jawab memastikan para korban tetap mendapat layanan medis dasar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari Tetumpun, perjalanan mereka berlanjut ke Desa Remukut, wilayah yang terletak lebih jauh ke arah barat daya Gayo Lues. Jalur yang dilalui bukan hanya sempit dan berlumpur, namun juga seringkali harus dilalui dengan kehati-hatian penuh mengingat tebing curam di sisi jalan dan reruntuhan tanah yang masih labil. Tanpa kendaraan, jalur ini hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki sambil mengangkut perlengkapan medis secara manual.
Tidak berhenti sampai di situ, beberapa tim bahkan harus menyeberangi sungai berarus deras menggunakan rakit sederhana untuk mencapai desa-desa yang benar-benar terisolasi. Tanpa jembatan, mereka menjadikan rakit dari batang bambu atau kayu sebagai satu-satunya moda transportasi air. Hujan yang kadang turun di tengah perjalanan membuat risiko bertambah, namun mereka tetap melanjutkan perjalanan, meyakini bahwa di ujung sana ada banyak jiwa menanti bantuan.
Pelayanan kesehatan darurat menjadi tembok terakhir sebelum kondisi warga memburuk. Di beberapa titik, relawan medis melayani warga di pos-pos sementara—berupa balai desa, tenda darurat, bahkan rumah warga yang dijadikan tempat perawatan. Obat-obatan dasar, peralatan periksa, serta layanan konsultasi menjadi kebutuhan prioritas yang mereka penuhi, meskipun dengan alat seadanya.
Meski demikian, semangat para tenaga medis ini tidak surut. Mereka bukan hanya mengobati luka fisik akibat bencana, tapi juga menyentuh sisi psikologis warga yang kehilangan tempat tinggal, keluarga, atau sumber penghidupan. Setiap senyum dan pelukan warga menjadi penguat langkah tim yang bekerja lebih dari sekadar profesi, tapi juga panggilan nurani.
Pemerintah daerah bersama berbagai pihak terus berupaya memulihkan akses ke desa-desa terdampak secara bertahap. Namun selama infrastruktur utama belum pulih, upaya-upaya semacam ini—yang mengandalkan kekuatan fisik, keberanian, dan niat tulus—yang menjadi sandaran warga di garis terdepan bencana.
Kisah perjuangan tim medis menyusuri gunung, menyeberangi sungai, dan merawat mereka yang terluka, mencerminkan bahwa di tengah keterbatasan, masih ada mereka yang berjalan jauh demi menjangkau yang paling terdampak. Di Gayo Lues, langkah kaki mereka bukan hanya mengantar bantuan, tapi juga mengetuk kembali semangat hidup masyarakat yang sempat tercerabut oleh bencana. (*)


































