Tapaktuan – Polemik masuknya lahan kebun masyarakat Samadua ke dalam peta Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Bersama Sukses Mining (BSM) terus bergulir dan kini mendapat sorotan tajam dari Pemerhati Intelijen, Sri Radjasa, M.BA.
Ia meminta Bupati Aceh Selatan H Mirwan MS dan Gubernur Aceh H Muzakir Manaf bersikap tegas untuk menghentikan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat.
Sri Radjasa menilai Keputusan Kepala DPMPTSP Aceh Nomor 540/DMPTSP/882/IUP-Eks./2024 tentang pemberian IUP Eksplorasi kepada PT BSM perlu dievaluasi segera. Izin tersebut dikeluarkan pada masa Pj Gubernur Bustami Hamzah setelah menerima rekomendasi Bupati Aceh Selatan Nomor 540/338 tanggal 29 April 2024 yang ditandatangani mantan Pj Bupati Cut Syazalisma. Namun dalam praktiknya, 752,4 hektare lahan yang kini masuk WIUP merupakan kebun produktif masyarakat yang selama puluhan tahun ditanami pala, durian, nilam, dan tanaman rakyat lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, proses penetapan WIUP tersebut cacat dari awal karena dilakukan tanpa sosialisasi, tanpa musyawarah, dan tanpa persetujuan masyarakat pemilik kebun. Ia menyebut lahan itu adalah tanah adat yang dikelola turun-temurun dan seharusnya dilindungi negara. “Itu bukan lahan kosong. Ada kebun rakyat yang sejak lama menjadi sumber hidup. Tidak boleh perusahaan masuk, survei, dan memetakan tanah itu seolah-olah tidak ada pemiliknya. Itu jelas melanggar hukum dan adat,” tegas Sri Radjasa.
Ia juga menyoroti indikasi pelanggaran terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), khususnya Pasal 148, 149, dan 155 yang mewajibkan perlindungan hak masyarakat adat atas tanah. Selain itu, Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 jo 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara juga dilanggar karena tidak adanya persetujuan masyarakat. Pelanggaran ini bukan hal kecil karena menyangkut hak dasar rakyat Samadua atas tanah warisan leluhur masyarakat Samadua.
Sri Radjasa menekankan bahwa tanah dalam adat Aceh bukan sekadar ruang ekonomi, tetapi bagian dari marwah masyarakat. Ia mengingatkan bahwa bagi masyarakat Aceh tanah warisan tidak dapat digantikan. Karena itu, masuknya lahan kebun rakyat yang telah dikelola secara turun temurun ke dalam WIUP tanpa sepengetahuan mereka bukan hanya bentuk ketidakadilan, tetapi juga penghinaan terhadap nilai-nilai adat Aceh.
Selain aspek hukum dan sosial, ia memperingatkan potensi bencana jika tambang dipaksakan di Samadua. Wilayah itu rawan banjir dan longsor, sehingga kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi berisiko memperparah kerusakan. “Jangan sampai perusahaan untung, rakyat buntung. Pemerintah harus bijak, jangan korbankan keselamatan rakyat,” ujarnya.
Menurut Sri Radjasa, jika pemerintah benar ingin memajukan masyarakat Samadua, jalan terbaik adalah mengoptimalkan perkebunan rakyat seperti pala, kopi, nilam, durian, dan tanaman produktif lain yang sudah terbukti memberikan pendapatan jangka panjang. Sektor ini lebih aman, berkelanjutan, dan tidak menimbulkan konflik sosial seperti yang kini berpotensi terjadi akibat WIUP PT BSM.
Sri Radjasa menegaskan bahwa Bupati Mirwan dan Gubernur Mualem kini berada pada posisi penting untuk menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Evaluasi WIUP BSM, menurutnya, bukan hanya tugas administratif, tetapi panggilan moral untuk melindungi hak masyarakat Samadua.
“Alih-alih Bupati dan Gubernur memenuhi kewajibannya tentang kesejahteraan rakyat, justru malah membiarkan hak rakyat dirampok segelintir orang mengatasnamakan investor walau khabarnya tak jelas alamat kantor perusahaannya. Padahal, Pemimpin harus berdiri bersama rakyatnya, karena menjaga tanah rakyat berarti menjaga martabat Aceh, khususnya Aceh Selatan,”pungkas purnawirawan TNI yang belasan tahun bertugas di Aceh itu.






































