Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang meminta agar syarat pendidikan minimal calon presiden dan calon wakil presiden diubah dari Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi sarjana (S1). Keputusan tersebut dibacakan dalam sidang pengucapan putusan perkara nomor 154/PUU-XXIII/2025 di ruang sidang MK, Jakarta, Senin (29/9/2025).
Dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, Mahkamah menyatakan “menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya” dalam perkara yang diajukan oleh Hanter Oriko Siregar, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional. Ini merupakan kali kedua Hanter mengajukan permohonan serupa, setelah sebelumnya MK juga menolak perkara nomor 87/PUU-XXII/2025.
Dalam permohonan terbarunya, Hanter tidak hanya meminta perubahan syarat pendidikan bagi capres-cawapres, tetapi juga untuk calon kepala daerah dan calon legislatif. Namun Mahkamah kembali menegaskan bahwa ketentuan mengenai pendidikan minimal SMA atau sederajat merupakan kebijakan hukum terbuka dari pembentuk undang-undang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyampaikan bahwa norma dalam Pasal 169 huruf r UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dipersoalkan masih konstitusional. Mahkamah menilai, selama suatu ketentuan tidak melanggar prinsip-prinsip konstitusi, tidak diskriminatif, tidak bersifat sewenang-wenang, dan tidak mengingkari kedaulatan rakyat, maka tidak ada alasan untuk mengubah ketetapan yang telah berlaku.
“Esensi yang dimohonkan dalam perkara a quo adalah sama dengan perkara sebelumnya, yaitu mempersoalkan syarat pendidikan paling rendah bagi calon presiden dan calon wakil presiden,” kata Ridwan.
Ia menambahkan, karena permohonan tersebut menyoal kebijakan hukum terbuka, Mahkamah berpandangan tidak memiliki alasan konstitusional yang cukup kuat untuk mengubah sikapnya dari putusan terdahulu.
MK juga menilai bahwa apabila syarat minimal diubah menjadi sarjana, maka justru akan mempersempit akses warga negara dalam menggunakan hak politiknya untuk dipilih. Dalam perspektif hak konstitusional, pemenuhan syarat lulusan SMA atau sederajat sudah cukup memadai untuk turut serta dalam kontestasi politik nasional, termasuk dalam pemilihan presiden.
“Jika disyaratkan pendidikan S1, maka akan menutup peluang warga negara lain yang hanya menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMA, padahal mereka tetap memiliki kapasitas dan hak politik,” ujarnya.
Mahkamah menyatakan tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dengan ketentuan pendidikan minimal untuk calon presiden, kepala daerah, maupun calon anggota legislatif. Ketentuan tersebut dinilai tetap terbuka dan inklusif selama tidak menimbulkan ketidakadilan yang intolerabel dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.


































