Yogyakarta, 1 Agustus 2025 — Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, dua tokoh nasional yang belakangan menjadi sorotan publik karena kasus hukum yang dinilai sarat muatan politik. DPR telah menyetujui permohonan tersebut, dan keputusan ini memicu reaksi luas di berbagai kalangan, termasuk dari Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta, Prof. Mahfud MD, yang menyambut keputusan tersebut dengan penuh optimisme. seperti disebutkan di kanal YouTube Kompas.com.
“Saya sangat gembira. Malam itu saya bisa tidur nyenyak. Ini langkah tepat dari Presiden karena proses hukum terhadap keduanya sangat kental dengan nuansa politik,” ujar Mahfud saat diwawancara.
Mahfud menyoroti bahwa proses hukum terhadap Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi impor gula, maupun Hasto Kristiyanto dalam perkara yang disebutnya “sudah ada sejak 2020 tapi baru diungkap saat terjadi konflik politik”, sarat rekayasa dan intervensi. Dalam pandangannya, keputusan Prabowo memberi pengampunan adalah bentuk koreksi atas kriminalisasi berbasis motif politik.
Hasto menerima amnesti, yaitu penghapusan pidana, sedangkan Lembong mendapat abolisi, yakni penghentian proses hukum. Menanggapi perbedaan itu, Mahfud menyebut praktik hukum di Indonesia memang tak selalu sejalan dengan definisi teoretis.
“Teorinya, amnesti diberikan sebelum pengadilan. Abolisi saat proses hukum berjalan. Tapi sejak era Habibie, praktiknya tidak begitu. Bahkan orang yang sudah divonis dan hampir bebas pun bisa diberi amnesti, seperti Saiful Mahdi dulu,” jelasnya.
Menurut Mahfud, hal yang perlu diperhatikan bukan soal ketepatan istilah, tapi substansi dan tujuan dari keputusan tersebut. Yakni mencegah kriminalisasi berbasis kepentingan kekuasaan.
Mahfud secara tegas menyebut bahwa vonis terhadap Lembong dan Hasto adalah hasil tekanan politik. Ia menyebut vonis itu “ngaco” dan menyebut hakim “seolah didikte oleh kekuatan eksternal”.
“Hasto itu sudah lama jadi target, sejak konflik PDIP dan Pak Jokowi. Kenapa unsur-unsur hukumnya sudah ada dari 2020 tapi baru dibuka sekarang, tepat setelah pimpinan KPK berganti?” ujar Mahfud.
Ia juga menyoroti ketimpangan hukum: kasus korupsi yang jauh lebih besar nilainya justru tak diproses, sementara tokoh politik tertentu justru langsung dijadikan tersangka dengan kilat.
Mahfud mengakui bahwa pengampunan terhadap figur publik bisa menimbulkan pertanyaan soal keadilan bagi masyarakat kecil yang juga mengalami hal serupa namun tak mendapat perhatian. Namun, ia mengingatkan bahwa banyak warga biasa juga pernah diberi keadilan melalui mekanisme hukum alternatif, asalkan ada suara publik yang mendesak.
“Kita bela Hasto dan Lembong bukan karena mereka tokoh besar, tapi karena ini soal keadilan hukum. Sama seperti kita dulu bela Saiful Mahdi, Nurhayati di Cirebon, dan lainnya,” tegasnya.
Secara konstitusional, pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden hanya perlu pertimbangan DPR, bukan Mahkamah Agung. Setelah disetujui DPR, Keputusan Presiden (Keppres) akan diterbitkan dan diberlakukan.
Prof. Mahfud MD menilai langkah Presiden Prabowo strategis dan tepat waktu untuk meredakan eskalasi keresahan hukum dan politik yang membahayakan stabilitas nasional.
“Ketika politik mulai menjadi panglima dalam hal yang anarkis di masyarakat dan elitis di pemerintahan, keputusan ini adalah sinyal kuat untuk mengembalikan hukum ke jalurnya,” pungkas Mahfud. (*)