Banda Aceh – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mendesak agar permasalahan pertambangan ilegal di Aceh ditangani langsung oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang dibentuk pemerintah pusat. Pasalnya, kasus ini diduga melibatkan kerugian negara yang cukup besar.
Koordinator MaTA, Alfian, menyatakan bahwa Satgas PKH yang dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan ini lebih efektif menangani kasus tambang ilegal di Aceh. Perpres tersebut diteken Presiden Prabowo Subianto pada 21 Januari 2025.
“Soal tambang ilegal di Aceh, apa yang sudah terjadi selama ini sebaiknya ditangani oleh Satgas PKH,” tegas Alfian di Banda Aceh, Jumat (26/7/2025).
Desakan ini muncul setelah Panitia Khusus (Pansus) Mineral dan Batubara serta Migas DPR Aceh dalam sidang paripurna, Kamis (25/7/2025), mengungkap adanya 450 titik lokasi tambang ilegal di sejumlah kabupaten di Aceh. Daerah-daerah tersebut meliputi Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tengah, dan Pidie.
Pansus DPR Aceh bahkan menemukan sekitar 1.000 unit excavator beroperasi aktif di dalam kawasan hutan Aceh. Temuan ini sontak menimbulkan keprihatinan karena menunjukkan skala besarnya aktivitas ilegal tersebut.
Menanggapi temuan Pansus DPR Aceh, Gubernur Aceh Muzakir Manaf telah mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 08/INSTR/2025 tentang Penataan dan Penertiban Perizinan/Non Perizinan Berusaha Sektor Sumber Daya Alam. Gubernur juga membentuk Satgas dan Satuan Tugas Khusus (Satgassus) untuk melakukan penataan perizinan pertambangan dan penertiban lapangan terhadap aktivitas ilegal.
Namun, Alfian menilai langkah Pemerintah Aceh saja tidak cukup. Menurutnya, Satgas PKH pusat lebih punya kewenangan dan kapasitas untuk menangani kasus ini, terutama karena diduga ada kerugian negara yang besar.
“Di beberapa provinsi, Satgas PKH ini sudah mulai berjalan dan menunjukkan hasil signifikan. Maka, kita harap Satgas PKH juga bisa menangani kasus tambang ilegal di Aceh, karena sejauh ini belum ada upaya konkret dari pemerintah daerah yang bisa menuntaskan masalah ini,” ungkap Alfian.
Alfian menjelaskan, Satgas PKH memiliki tiga tugas utama: pertama, mengembalikan lahan atau hutan yang telah diambil alih oleh perorangan atau perusahaan; kedua, menghitung kerugian negara akibat aktivitas ilegal tersebut; dan ketiga, memproses pihak-pihak yang terlibat jika terbukti melakukan tindak pidana korupsi, termasuk suap, gratifikasi, atau perambahan.
“Di Sumatera, sudah ada sekitar empat kasus tambang ilegal yang masuk ranah tindak pidana korupsi dan ditangani Satgas PKH. Mereka bahkan bisa mengusut aktor intelektual di balik kasus tersebut. Karenanya, kami yakin Satgas PKH bisa bekerja lebih efektif menangani kasus di Aceh,” kata Alfian.
Sementara itu, Koordinator LSM Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani, sepakat bahwa penanganan tambang ilegal harus dilakukan secara transparan. Namun, ia meminta Pemerintah Aceh melibatkan unsur masyarakat sipil dan lembaga pengawasan independen dalam proses penataan dan penertiban yang sedang dilakukan berdasarkan Ingub tersebut.
“Proses ini harus dibuka untuk publik. Libatkan masyarakat sipil serta lembaga pengawasan independen agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang saat evaluasi dan pencabutan izin tambang ilegal,” ujar Askhalani.
Askhalani menekankan pentingnya pengawasan bersama, baik dari internal pemerintah maupun eksternal oleh masyarakat sipil. Dengan begitu, penegakan aturan bisa lebih objektif dan tidak meleset dari tujuan utamanya, yakni memberantas aktivitas tambang ilegal yang merugikan negara dan lingkungan.
“Pengawasan independen ini jadi kunci agar tidak ada oknum pemerintah atau pemegang izin yang ‘lolos’ dari jeratan hukum. Masyarakat berhak tahu bagaimana aset negara dikelola,” tambah Askhalani.












































