Jakarta — Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tengah menjadi sorotan publik setelah pernyataan salah satu komisionernya mengenai kewajiban membayar royalti untuk memutar lagu “Indonesia Raya” menuai kecaman luas. Lagu kebangsaan Indonesia tersebut selama ini dikenal sebagai simbol nasional yang rutin dinyanyikan dalam berbagai kegiatan resmi, sehingga wajar jika masyarakat mempertanyakan pernyataan tersebut.
Kontroversi bermula dari pernyataan Komisioner LMKN Bidang Kolekting dan Lisensi, Yessi Kurniawan. Ia menjelaskan bahwa semua lagu yang memiliki hak cipta dan diputar di ruang publik wajib membayar royalti, termasuk “Indonesia Raya” jika digunakan dalam konteks tertentu seperti pertunjukan berbayar atau acara komersial. Yessi merujuk pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan sebagai landasan pernyataannya.
Meski demikian, Yessi menegaskan bahwa pemerintah tidak perlu meminta izin apabila menggunakan lagu tersebut untuk kepentingan nasional. Namun, pernyataan ini tidak serta merta meredam gelombang kritik dan pertanyaan dari masyarakat di media sosial. Banyak yang mempertanyakan logika penerapan royalti pada lagu kebangsaan yang kerap diputar di upacara resmi tanpa adanya pembayaran.
Merespons polemik tersebut, LMKN kemudian mengeluarkan klarifikasi resmi. Dalam pernyataan yang disampaikan Kamis, 7 Juli 2025, Yessi Kurniawan menegaskan bahwa lagu “Indonesia Raya” tidak dikenakan royalti karena sudah berstatus domain publik. “Hak ekonomi tidak ada. Jadi, harus tetap ditulis ciptaan W.R. Supratman sebagai hak moral,” jelasnya.
Penegasan ini berarti bahwa pemegang hak cipta lagu “Indonesia Raya”, termasuk ahli waris W.R. Supratman, tidak memiliki hak ekonomi atas penggunaan lagu tersebut. Namun, hak moral tetap berlaku, yakni pencantuman nama W.R. Supratman sebagai pencipta lagu kebangsaan wajib dilakukan untuk penghargaan atas karya ciptaannya.
Selain itu, LMKN juga menekankan bahwa pemutaran lagu “Indonesia Raya” untuk kegiatan kenegaraan, upacara, dan pendidikan tidak akan dikenakan royalti dalam bentuk apapun. “Kami hanya mengelola royalti untuk lagu-lagu ciptaan yang berada di bawah manajemen kolektif, dan bukan untuk lagu kebangsaan seperti ‘Indonesia Raya’,” tambah Yessi.
Pernyataan ini sekaligus meluruskan kekeliruan yang beredar dan memberikan kejelasan hukum bagi masyarakat serta penyelenggara acara mengenai status penggunaan lagu kebangsaan Indonesia. Dengan klarifikasi ini, diharapkan ketegangan publik dapat mereda dan pemahaman akan hukum hak cipta dapat lebih jelas.
Lagu “Indonesia Raya”, yang diciptakan oleh W.R. Supratman, sejak lama menjadi simbol patriotisme dan identitas bangsa Indonesia. Lagu ini kerap diperdengarkan dalam berbagai upacara resmi dan kegiatan kenegaraan, serta menjadi bagian dari pendidikan karakter di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.
Keberadaan LMKN sebagai lembaga yang mengelola royalti lagu-lagu ciptaan memiliki peran penting dalam menjamin hak para pencipta karya seni, namun juga harus berjalan dengan memperhatikan nilai-nilai nasional dan kepentingan umum, terutama dalam konteks lagu kebangsaan. (*)