Kutacane, Baranews– Dugaan praktik korupsi kembali menyeruak dari proyek infrastruktur di Aceh Tenggara. Perhatian publik kini tertuju pada proyek pembangunan pengendalian banjir dan perkuatan tebing Sungai Lawe Alas di Desa Natam Baru, Kecamatan Badar, Kutacane, yang disebut-sebut bermasalah dalam pelaksanaan teknis maupun pengawasannya. Proyek senilai nyaris Rp7 miliar yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini disinyalir mengandung pelanggaran dan indikasi kuat praktik kongkalikong antarpihak terkait, sebagaimana diungkap oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Informasi Rakyat (LIRA) Aceh Tenggara.
Proyek bernomor kontrak PB 02 01-Bws1.7.1/455 ini merupakan kegiatan pembangunan strategis yang dilaksanakan oleh CV. ALFATIR dan dengan pengawasan oleh CV. Centriva Engineering. Namun, proyek ini justru menuai sorotan keras dari aktivis sipil usai LIRA mengemukakan sejumlah temuan berbasis investigasi langsung di lapangan. Fazriansyah, Bupati LIRA Aceh Tenggara, menyebut lembaganya telah mengantongi bukti visual berupa dokumentasi foto dan video yang menunjukkan dugaan pengurangan volume pekerjaan, utamanya pada struktur pondasi dan pemasangan bronjong.

Fazriansyah menegaskan, foto-foto tersebut mengindikasikan bahwa pekerjaan proyek tidak dilakukan sesuai spesifikasi teknis. Area pondasi terlihat terlalu dangkal, susunan bronjong tidak memiliki kekuatan struktural memadai, dan proses pengerjaan dilakukan tanpa kehadiran tenaga profesional. Dalam gambar lain, pekerja terlihat memasang kawat bronjong secara manual, sementara alat berat melakukan urukan tanah di medan yang belum dipadatkan secara layak.
Lebih mencengangkan lagi, papan informasi proyek—yang wajib dipasang sesuai aturan transparansi publik—justru ditemukan dalam kondisi miring dan dipakai untuk menggantung pakaian, menggambarkan pelaksanaan proyek yang jauh dari nilai-nilai profesionalisme. Padahal, sesuai ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, prinsip keterbukaan dan tanggung jawab dalam pengadaan proyek wajib diutamakan guna menjaga integritas penggunaan anggaran negara.

Tidak hanya itu, LIRA juga menyinggung soal progres proyek yang dinilai sangat janggal. Dalam dokumentasi bertanggal 8 Juli 2025, proyek terlihat masih dalam tahap awal pengerjaan, sementara masa kontrak hanya berlangsung selama 210 hari kalender. Keterlambatan tersebut menjadi tanda tanya besar apakah proyek ini benar-benar dikelola secara profesional atau malah terjerumus dalam praktik yang mengabaikan asas akuntabilitas publik.
Sejumlah kejanggalan lainnya makin menambah perhatian serius. Salah satunya adalah fakta bahwa tembok bronjong tampak langsung disusun di atas tanah atau urukan batu, tanpa pondasi beton bertulang sebagaimana lazimnya dalam proyek pengendalian banjir. Pelaksanaan proyek seperti ini jelas bertentangan dengan standar dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 22/PRT/M/2018, yang mengatur fondasi dan struktur bangunan pengaman tebing sungai harus dirancang untuk menahan kekuatan alam jangka panjang, terlebih jika tujuannya adalah pengendalian arus sungai yang kerap mengalami luapan besar.

Fazriansyah menyampaikan bahwa lemahnya pengawasan menjadi salah satu titik rawan utama terjadinya penyimpangan. Keberadaan konsultan supervisi, menurutnya, hanya sebatas formalitas administrasi karena dalam praktiknya tidak terlihat kehadiran pengawasan di lapangan. Hal ini juga melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang secara eksplisit mengharuskan supervisi dan pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana dan mutu yang telah ditentukan untuk menjamin keselamatan konstruksi.
“Ini bukan hanya soal anggaran. Ini soal keselamatan masyarakat yang tinggal di sekitar aliran Sungai Lawe Alas. Jika proyek ini gagal menahan arus sungai saat banjir datang, maka kita bicara tentang potensi bencana besar,” ungkap Fazriansyah dengan nada serius.
Hingga berita ini dipublikasikan, pihak pelaksana proyek CV. ALFATIR maupun Balai Wilayah Sungai Sumatera I Aceh belum memberikan tanggapan resmi, meskipun telah beberapa kali dihubungi oleh awak media. Ketertutupan ini menjadi perhatian utama masyarakat, yang menuntut adanya tanggung jawab konkret terhadap penggunaan dana publik.
LIRA dengan tegas mendesak pihak aparat hukum—yakni Kejaksaan, Kepolisian, BPK, hingga BPKP—untuk segera melakukan langkah-langkah penyidikan mendalam dan transparan. Di sisi lain, audensi terhadap auditor independen juga wajib digelar sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), agar langkah penegakan hukum benar-benar berpijak pada data dan fakta lapangan, bukan sekadar opini.
“Ini bukan persoalan kecil. Jika kami, masyarakat sipil, mampu mengidentifikasi berbagai kejanggalan ini, seharusnya negara jauh lebih sigap dan tanggap. Jangan sampai lembaga-lembaga yang dibiayai oleh uang rakyat malah membiarkan permainan ini terus berjalan,” ujarnya.
Fazriansyah memperingatkan bahwa jika pelanggaran ini tidak ditindak secara tegas, maka akan menimbulkan preseden buruk dalam praktik pembangunan di daerah. Padahal pembangunan seharusnya menjadi instrumen untuk menghadirkan manfaat nyata bagi rakyat, bukan komoditas yang diperjualbelikan oleh sekelompok oknum.
“Jangan biarkan Sungai Lawe Alas menjadi saksi bisu atas mati surinya integritas bangsa ini. Publik sedang mengamati, apakah hukum akan bertindak atas nama keadilan atau kembali tumpul di hadapan pelaku proyek bermasalah? Kami tidak akan berhenti menagih keadilan,” tutupnya. (tim)













































