JAKARTA | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut menanggapi kabar dugaan permintaan gratifikasi oleh seorang pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dikaitkan dengan pernikahan anak. Informasi ini disebut telah sampai ke pihak KPK, dan kini tengah dalam proses koordinasi lebih lanjut.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo , mengatakan bahwa lembaga antirasuah akan meminta hasil investigasi dari internal Kementerian PUPR terkait kasus ini. Ia menegaskan bahwa segala bentuk gratifikasi, apapun alasannya, tidak bisa dibenarkan.
“KPK melalui Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik Kedeputian Pencegahan dan Monitoring pada kesempatan pertama akan berkoordinasi dengan Inspektorat Jenderal ataupun Inspektur Investigasi Kementerian PU,” ujar Budi dalam keterangan tertulisnya hari ini.
Menurut Budi, permintaan gratifikasi untuk tujuan pernikahan anak merupakan urusan pribadi yang tidak boleh dicampuradukkan dengan jabatan atau institusi tempat seseorang bekerja. Setiap penyelenggara negara maupun aparatur sipil negara (ASN) wajib menjaga integritas dan tidak terlibat dalam praktik-praktik yang dapat merusak citra birokrasi serta menciderai kepercayaan publik.
Ia menambahkan, KPK akan melakukan analisis atas temuan investigasi yang dilakukan oleh pihak Kementerian PUPR. Hasil investigasi tersebut nantinya akan menjadi dasar bagi KPK untuk menentukan langkah selanjutnya, termasuk apakah ada indikasi pelanggaran hukum yang perlu ditindaklanjuti lebih jauh.
Sebelumnya, isu ini mencuat setelah beredarnya sebuah dokumen resmi dari Inspektur Jenderal Kementerian PUPR, Dadang Rukmana , yang menyatakan adanya hasil audit investigasi sementara di lingkungan Sekretariat Jenderal Kementerian PUPR. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Kepala Biro terkait telah menghubungi beberapa Kepala Balai Besar untuk meminta dukungan terkait rangkaian acara pernikahan anak seorang pejabat eselon II di lingkungan kementerian tersebut.
Dari hasil investigasi sementara, diketahui bahwa sejumlah uang berhasil terkumpul dari para kepala balai, yakni sebesar Rp10 juta dan USD 5.900 . Namun, uang tersebut kemudian dikembalikan kepada masing-masing pemberi karena dianggap sebagai bantuan pribadi yang tidak relevan dengan tugas dan jabatan si penerima.
“Dalam surat itu dinyatakan bahwa uang tunai tersebut saat ini telah disita oleh Inspektorat dan selanjutnya akan dikembalikan kepada pihak pemberi karena uang tersebut merupakan uang pribadi pemberi yang ditujukan untuk membantu/mendukung rangkaian acara pernikahan,” demikian bunyi surat tersebut.
Meskipun tidak ditemukan indikasi transaksi korupsi besar atau penyalahgunaan anggaran negara, KPK tetap menyoroti pentingnya sikap tegas dalam menolak gratifikasi dalam bentuk apa pun. “KPK menyambut baik respons cepat dari Kementerian PU yang langsung melakukan investigasi. Ini menunjukkan komitmen awal untuk menjaga tata kelola pemerintahan yang bersih,” kata Budi.
KPK juga mengingatkan kembali bahwa UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit melarang setiap orang memberi atau menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas yang sah.
Kasus ini sekali lagi menjadi pengingat pentingnya pengawasan internal di instansi pemerintah serta partisipasi aktif semua pihak dalam membangun budaya anti-gratifikasi. Masyarakat juga didorong untuk melaporkan setiap praktik yang mencurigakan agar pemerintahan tetap transparan dan akuntabel.
Saat ini, KPK masih menunggu hasil investigasi lengkap dari Kementerian PUPR sebelum menentukan langkah lebih lanjut. Meski belum ada status tersangka atau rencana penyelidikan lebih dalam, pihak KPK tetap akan mengawal kasus ini sebagai bagian dari upaya pencegahan korupsi di lingkungan birokrasi. (*)