Jakarta — Sejumlah pasien dan keluarga korban Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cabangbungin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, kembali melangkah maju untuk mencari keadilan. Kali ini, mereka secara resmi melaporkan berbagai dugaan pelanggaran serius, mulai dari malpraktik hingga pelecehan seksual, kepada Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) di bawah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Langkah tersebut difasilitasi oleh kuasa hukum para korban, Muhamad Andrean. Ia menyatakan bahwa pekan ini pihaknya mendampingi korban dalam proses pelaporan sekaligus penyerahan sejumlah bukti yang menunjukkan dugaan pelanggaran etik dan hukum oleh oknum tenaga kesehatan di RSUD Cabangbungin.
“Hari ini para korban telah menyampaikan laporan resmi kepada MDTK. Laporan ini mencakup dugaan malpraktik medis dan juga dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum di RSUD Cabangbungin,” ujar Andrean saat memberikan keterangan kepada wartawan di Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Andrean memaparkan bahwa kondisi para korban semakin memprihatinkan. Salah satunya adalah Bayu Fadilah, pasien yang awalnya didiagnosis mengidap demam berdarah dengue (DBD), namun kemudian mengalami kebutaan permanen setelah bola matanya dicabut saat dalam perawatan. “Kasus Bayu adalah bentuk nyata kegagalan penanganan medis yang berakibat sangat fatal. Dia kehilangan penglihatannya secara permanen,” ungkap Andrean.
Kasus lain menimpa pasien bernama Dewi Pertiwi, yang menurut keluarga, menjalani tindakan operasi tanpa sepengetahuan pihak keluarga. Usai tindakan medis tersebut, Dewi dalam kondisi sangat lemah dan tidak berdaya. Sementara korban lainnya, inisial SM, hingga kini masih mengalami trauma berat akibat dugaan pelecehan seksual oleh oknum di rumah sakit yang sama.
“Para korban ini sangat membutuhkan keadilan. Tidak hanya dari sisi medis, tapi juga perlindungan hukum dan pemulihan psikologis,” tegas Andrean.
Lebih jauh Andrean mengingatkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, tanggung jawab hukum tidak hanya dibebankan kepada individu tenaga medis, tetapi juga kepada seluruh sistem dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat di rumah sakit.
“Pasal 446 UU Kesehatan secara tegas menyebutkan adanya sanksi pidana bagi tenaga medis atau kesehatan yang melakukan kelalaian hingga menyebabkan luka berat atau kematian. Termasuk juga hukuman untuk pelanggaran etik dan penggunaan identitas palsu sebagai tenaga medis,” paparnya.
Tak hanya itu, undang-undang tersebut juga memperluas ruang pertanggungjawaban pidana kepada institusi atau korporasi kesehatan yang terbukti melakukan pelanggaran. “Ini penting untuk diingat, karena tanggung jawab institusional tidak boleh dikesampingkan,” tambahnya.
Andrean berharap agar MDTK sebagai lembaga independen yang berada di bawah Kementerian Kesehatan dapat menjalankan tugasnya dengan profesional dan tegas. Ia mengingatkan bahwa pembiaran terhadap pelanggaran serius di institusi kesehatan dapat menjadi preseden buruk dalam pelayanan medis di Indonesia. “Jika MDTK menemukan bahwa unsur-unsur dalam pasal 446 telah terpenuhi, jangan ragu untuk memproses hukum para pelaku. Ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem layanan kesehatan kita,” ucapnya.
Sebagai informasi, MDTK merupakan lembaga independen yang memiliki tugas utama menegakkan disiplin dan etika profesi tenaga medis. Lembaga ini bekerja bersama Majelis Disiplin Profesi (MDP) yang bertugas memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan sanksi terhadap tenaga medis yang melakukan pelanggaran etik dan disiplin.
MDTK dan MDP juga didukung oleh Kolegium Kesehatan, yang terdiri atas para ahli dari masing-masing bidang kedokteran dan kesehatan. Tujuannya adalah untuk menjamin standar kompetensi dan kualitas layanan medis di seluruh Indonesia. Dalam struktur tanggung jawabnya, MDTK dan MDP berada di bawah Kementerian Kesehatan dan berperan penting dalam menjaga integritas profesi tenaga kesehatan, serta memastikan keselamatan pasien dalam pelayanan medis. (*)













































