Konflik Lahan Makin Memanas: Masyarakat Penanggalan Tuntut Keadilan, PT Laot Bangko Diduga Geser Tapal Batas Sepihak

Redaksi Bara News

- Redaksi

Rabu, 28 Mei 2025 - 01:18 WIB

50328 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Subulussalam, Aceh – Awan kelabu menggantung di atas PT Laot Bangko, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, Aceh. Pada Selasa (28/05), ratusan masyarakat tani dan masyarakat adat dari Kemukiman Penanggalan turun ke lapangan, menyuarakan protes keras terhadap proyek pembangunan “Paret Gajah” yang dilakukan perusahaan tersebut. Suasana di lokasi proyek memanas—amarah dan kekecewaan memuncak akibat dugaan pemindahan tapal batas sepihak oleh perusahaan yang dituding melewati Patok 90, 94, dan Patok A—batas yang telah ditetapkan oleh pemerintah bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Gelombang protes ini bermula dari dampak langsung proyek penggalian paret yang dilakukan PT Laot Bangko. Aktivitas tersebut tidak hanya memutus akses jalan masyarakat tani ke lahan pertanian mereka, tetapi juga menghancurkan tanaman produktif dan mencederai hak-hak masyarakat adat yang selama ini menjaga dan mengelola tanah tersebut secara turun-temurun. Keresahan semakin memuncak ketika muncul dugaan kuat bahwa perusahaan secara sepihak menggeser tapal batas lahan, memperluas konsesi mereka dengan melampaui batas yang telah disahkan secara resmi oleh pemerintah.

Sebagai respons atas situasi genting ini, masyarakat Penanggalan menggelar musyawarah terbuka lintas kampong yang dihadiri tokoh-tokoh masyarakat, pemuka adat, dan perwakilan pemuda. Forum ini menjadi wadah penyampaian keresahan kolektif dan merumuskan langkah-langkah perjuangan yang akan ditempuh bersama.

Denni Bancil, salah satu tokoh masyarakat yang disegani di Penanggalan, tampil sebagai suara tegas perlawanan. Dalam pernyataannya, Denni menekankan bahwa masyarakat tidak akan tinggal diam menghadapi dugaan perampasan hak-hak mereka.
“Kami tidak akan tinggal diam. Ini bukan hanya tentang tanah, ini tentang harga diri dan keberlangsungan hidup anak cucu kita. Hak-hak masyarakat adat harus dipulihkan, dan kami siap berjuang sampai tuntas,” tegas Denni.

Sementara itu, Rinto Berutu, tokoh pemuda Penanggalan, menyuarakan hal senada. Ia menekankan pentingnya solidaritas lintas generasi dalam menghadapi persoalan ini.
“Ini bukan sekadar konflik lahan. Ini soal keadilan, soal harkat martabat masyarakat adat. Kami, generasi muda, berdiri bersama orang tua kami untuk mempertahankan tanah warisan leluhur,” ungkap Rinto.

Dalam musyawarah tersebut, masyarakat menyampaikan tujuh tuntutan tegas yang ditujukan kepada PT Laot Bangko dan pemerintah, antara lain: menghentikan proyek penggalian “Paret Gajah” yang sedang disengketakan, mengganti seluruh tanaman yang rusak dan memulihkan akses jalan masyarakat yang terputus akibat proyek, mendesak pemerintah dan Mukim untuk segera menerbitkan sertifikat tanah adat Kemukiman Penanggalan, menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk membahas skandal Hak Guna Usaha (HGU) PT Laot Bangko yang diduga merampas hak masyarakat, mengembalikan hak Koperasi Pekebun (Koperbun) yang selama ini diabaikan, menuntut transparansi penuh terkait penyaluran program Corporate Social Responsibility (CSR) dan pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dari lahan plasma PT Laot Bangko, serta menuntut pengembalian seluruh areal transmigrasi yang kini dikuasai PT Laot Bangko.

Di balik gejolak konflik ini, muncul pula sorotan tajam terkait dugaan adanya “Plasma Siluman” dan “CSR Siluman”. Masyarakat mencurigai bahwa program plasma yang seharusnya menjadi hak petani justru dikelola tanpa transparansi, sementara dana CSR yang seharusnya dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat lokal diduga tak jelas penyalurannya.
“Selama ini kami hanya mendengar janji, tapi kenyataannya? Tidak ada laporan transparan tentang dana CSR atau hasil usaha dari plasma. Ini semua harus dibongkar agar terang-benderang,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Di tengah dinamika yang semakin memanas, masyarakat Kemukiman Penanggalan kini berdiri dalam satu barisan. Mereka bertekad untuk mempertahankan tanah adat mereka yang telah diwariskan turun-temurun dan menolak segala bentuk perampasan hak yang dilakukan oleh pihak manapun.

Konflik ini menjadi cermin betapa kompleksnya persoalan agraria di Indonesia, khususnya di wilayah Aceh. Masyarakat adat yang selama ini menjadi penjaga tanah leluhur justru kerap terpinggirkan oleh kepentingan korporasi besar. Persoalan ini juga menjadi alarm bagi pemerintah agar lebih proaktif dalam menyelesaikan sengketa lahan secara adil, transparan, dan berpihak kepada rakyat.

Masyarakat Penanggalan kini menunggu respons dari pemerintah dan PT Laot Bangko. Namun satu hal yang pasti: perlawanan mereka baru saja dimulai.

(Anton Tin / Red /Subulussalam)

Berita Terkait

Warga Enam Desa Desak DPRK Subulussalam Bertindak Tegas, Tuding PT Laot Bangko Rampas dan Rusak Lahan
Bangun Sinergi, Kapolres Subulussalam Jalin Kemitraan dengan Masyarakat Runding
Bea Cukai Meulaboh Tanamkan Semangat Kepabeanan di Sekolah Subulussalam
Kongres Masyarakat Adat Kemukiman Binanga: Tonggak Sejarah Baru Pengakuan Hak dan Kearifan Lokal
Tanah Leluhur, Surat Orang Lain: Skandal Diam di Subulussalam
Premanisme Oknum Security PT BDA di Subulussalam Berujung Laporan Polisi: DPRK dan Kuasa Hukum Kawal Kasus Hingga Tuntas
Pemko Subulussalam Lantik 50 Pejabat dan 17 Plt, Rotasi Besar Diharapkan Tingkatkan Kinerja Pelayanan Publik
Sosok Ibu Dermawan di Subulussalam: Ratna Dewi Idris Manik dan Aksi Jumat Berkah untuk Anak Yatim