Oleh: [Tgk. Samsir Ali Pang Rayang.]
Di antara gugusan bukit di Rikit Gaib, Gayo Lues, berdirilah sebuah perbukitan yang sejak lama menjadi bisik-bisik sejarah: Bur Ranto Naru — atau yang oleh sebagian orang tua disebut Gunung Rantau Panjang. Tak sekadar bentang alam, gunung ini adalah arsip hidup dari masa lalu, tempat waktu berdiam dan legenda bersemayam.
Bagi masyarakat Desa Penomon Jaya, Bur Ranto Naru bukan sekadar hamparan hijau yang diselimuti kabut pagi. Ia adalah simbol “peruweren”, istilah lama yang berarti tempat penggembalaan atau kandang ternak, namun maknanya jauh melampaui itu. Di sanalah dulu, ratusan tahun silam, keluarga Tengku Alamsyah Panglima Rayang membangun kehidupan, menanam nilai, dan mengikat kisah tentang kekuasaan, spiritualitas, dan kehormatan.
Kini, setelah generasi berganti, darah keturunan itu mengalir pada sosok yang melangkah jauh ke ibu kota: Tengku Samsir Ali Pangrayang, penerus garis keturunan yang kini menetap di Jakarta. Ia bukan lagi sekadar pewaris nama besar, tapi penjaga ingatan — a guardian of legacy — dari sebuah kisah panjang yang nyaris terlupakan oleh zaman
Dalam percakapan orang-orang tua Gayo Lues, Bur Ranto Naru sering disebut sebagai gunung yang berbisik. Tak sedikit yang percaya, angin yang bertiup di lerengnya membawa suara masa lalu — suara para leluhur yang dulu menggembalakan ternak di sana, atau panggilan lembut dari arwah pejuang yang menjaga tanah itu.
“Di sana dulu tempat kami menyimpan sapi dan kuda,” ujar seorang warga tua, mengingat masa kecilnya. “Tapi lebih dari itu, di sanalah kami belajar tentang kehidupan: bekerja keras, menjaga kehormatan, dan menghormati alam.”
Bur Ranto Naru adalah saksi bisu peradaban kecil yang bertumbuh dalam keterasingan. Ia menyimpan cerita tentang kerja keras, spiritualitas, dan kesetiaan pada tanah leluhur. Dan seperti halnya setiap legenda, ada semacam aura yang tak dapat dijelaskan — a sense of mystery that lingers beyond logic — seolah gunung itu hidup dan memahami siapa yang pernah datang dan pergi.
Darah Panglima Rayang, rupanya, tak berhenti di lereng Gayo Lues. Tengku Samsir Ali Pangrayang, keturunan langsung dari garis itu, memilih jalan yang berbeda dari leluhurnya. Setelah 18 tahun bermukim di luar negeri, ia kini menetap di Jakarta sebagai kader Partai Gerindra pusat dan juga Ketua Koperasi Garuda Adiyaksa Nusantara (KGN) Jakarta Selatan.
Keputusannya pulang ke tanah air bukan tanpa makna. Dalam berbagai kesempatan, ia kerap mengatakan bahwa tanah tempatnya lahir — Gayo Lues — adalah sumber energi spiritualnya. “Saya mungkin tinggal di kota, tapi akar saya tetap di Bur Ranto Naru,” katanya suatu kali, dengan nada yang tak bisa disembunyikan: rindu.
Menariknya, langkahnya di Jakarta bukan semata-mata mencari posisi atau kekuasaan, tapi mencoba membangun jejaring ekonomi dan sosial untuk anak bangsa. “Saya ingin koperasi menjadi jembatan — bukan sekadar tempat simpan pinjam, tapi wadah kebangkitan ekonomi rakyat,” ujarnya. Kata-kata yang menggema seperti gema dari masa lalu Bur Ranto Naru sendiri: tentang kerja keras, kebersamaan, dan keberanian menatap masa depan.
Bur Ranto Naru kini tampak tenang. Tak banyak lagi suara ternak atau langkah kaki manusia di lerengnya. Namun dalam kesunyian itu, gunung seolah tetap menyimpan sesuatu: doa, harapan, dan ingatan.
Bagi sebagian orang Gayo, tempat itu bukan hanya sakral, tapi juga menjadi simbol bahwa setiap generasi harus kembali menengok asalnya.
Seperti pepatah Gayo:Artinya, “Jika engkau lupa asalmu, maka seolah engkau telah mati sebelum waktumu.”
Dalam konteks itu, kehadiran Tengku Samsir Ali Pangrayang di panggung nasional seakan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Ia membawa nama Bur Ranto Naru bukan sebagai legenda yang membeku, tapi sebagai living memory — ingatan hidup yang terus bergerak dalam kerja, dedikasi, dan tanggung jawab.
Jika Tempo boleh menarik garis refleksi, maka kisah Bur Ranto Naru bukan hanya tentang sejarah lokal atau silsilah keluarga, melainkan tentang identitas bangsa. Bahwa setiap manusia Indonesia memiliki “gunung”-nya sendiri — tempat di mana asal-usul, nilai, dan doa-doa leluhur terpatri.
Modernitas sering kali membuat kita lupa pada sumber itu. Kita membangun gedung, mengejar jabatan, dan menulis nama di papan kota, tapi lupa bahwa semua itu berawal dari sebongkah tanah dan doa seorang nenek di bukit yang jauh.
Bur Ranto Naru, dengan segala misterinya, mengajarkan kita untuk look back while moving forward — menoleh ke belakang tanpa kehilangan langkah ke depan. Sebab, seperti yang dikatakan oleh seorang penulis besar, “You cannot know where you’re going, if you don’t know where you came from.” (Kau tak akan tahu ke mana tujuanmu, jika kau tak tahu dari mana asalmu.)
Kini, di antara deru kendaraan dan lampu kota Jakarta, Tengku Samsir Ali Pangrayang tetap menyimpan kenangan akan tanahnya. Ia membawa semangat Bur Ranto Naru — keteguhan, kesunyian, dan kebijaksanaan — ke ruang-ruang rapat dan forum-forum pembangunan.
Bur Ranto Naru mungkin jauh, terbungkus kabut di kaki Rikit Gaib, tapi kisahnya tak pernah benar-benar hilang. Ia hidup di hati para pewarisnya, di jiwa mereka yang percaya bahwa legenda bukan hanya dongeng masa lalu, tapi cermin masa depan.Dan di sanalah, di antara kabut Gayo dan hiruk-pikuk Jakarta, legenda itu bernafas kembali — lembut, tapi pasti.
Seperti bisikan dari gunung tua:“Jangan lupa asalmu, anak negeri. Karena dari tanah itu, engkau belajar arti tinggi tanpa meninggalkan bumi.”