JAKARTA — Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyita uang sebesar Rp 11,88 triliun dari lima korporasi yang berada di bawah naungan Wilmar Group sebagai bagian dari penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) pada periode Januari 2021 hingga Maret 2022. Penyitaan tersebut disebut sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia.
Penyitaan dilakukan setelah kelima korporasi tersebut secara sukarela mengembalikan dana kepada negara. Korporasi dimaksud adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multinabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Kelima entitas tersebut tercatat sebagai bagian dari Wilmar Group yang terlibat dalam skema pemberian kuota ekspor CPO secara tidak sah melalui jalur manipulasi administratif dan penyalahgunaan fasilitas.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyampaikan bahwa langkah pengembalian dana ini merupakan hasil pendekatan hukum yang terukur serta respons atas proses hukum yang tengah berjalan. Ia menyebut bahwa sitaan tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah Kejaksaan, baik dari sisi nilai maupun signifikansi perkara.
“Hari ini merupakan salah satu konferensi pers penyitaan uang terbesar yang pernah dilakukan dalam sejarah Kejaksaan Agung, baik secara nominal maupun jumlah barang buktinya,” ujar Harli dalam keterangannya kepada pers.
Namun, pengembalian uang sebesar Rp 11,8 triliun ini tidak serta-merta mengakhiri kontroversi seputar kasus. Sebelumnya, perkara yang melibatkan Wilmar Group dan sejumlah korporasi lain sempat mengalami kemunduran ketika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan vonis lepas (ontslag van alle rechtsvervolging) terhadap para terdakwa korporasi.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa meskipun unsur perbuatan sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum terbukti, namun perbuatan itu bukan tergolong tindak pidana. Putusan ini mengundang polemik luas, terutama setelah diketahui bahwa ada aliran dana dalam jumlah besar kepada para hakim yang memutus perkara tersebut.
Tiga hakim yang memimpin persidangan, yakni Djuyamto (ketua), Agam Syarif Baharuddin (anggota), dan Ali Muhtarom (hakim ad hoc), bersama Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum karena diduga menerima gratifikasi dan suap sebesar Rp 60 miliar terkait putusan tersebut. Dari jumlah itu, para hakim diduga menerima Rp 22,5 miliar secara langsung.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung, Sutikno, menjelaskan bahwa uang yang telah dikembalikan oleh Wilmar Group akan dimuat dalam memori kasasi yang sedang disiapkan dan akan diajukan ke Mahkamah Agung. Tujuannya adalah agar uang tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam materi pembuktian lanjutan dan dapat dipertimbangkan oleh majelis hakim agung yang menangani perkara di tingkat kasasi.
“Uang tersebut dimasukkan ke dalam memori kasasi agar keberadaannya dipertimbangkan dalam putusan Mahkamah Agung, terutama sebagai kompensasi atas kerugian negara yang ditimbulkan,” ujar Sutikno.
Ia menambahkan, penyitaan uang tersebut belum dapat diklaim sebagai kemenangan mutlak, karena perkara masih belum inkrah (berkekuatan hukum tetap). Namun, langkah ini dinilai sebagai bentuk pertanggungjawaban korporasi atas dugaan keterlibatannya dalam skandal ekspor minyak sawit mentah yang mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah signifikan.
Selain Wilmar Group, dua korporasi besar lainnya yang juga sempat divonis lepas dalam perkara yang sama, yakni Permata Hijau Group dan Musim Mas Group, kini juga diharapkan segera mengikuti jejak Wilmar dengan mengembalikan dana kerugian negara. Berdasarkan tuntutan jaksa, Permata Hijau Group diminta membayar Rp 937,5 miliar, sementara Musim Mas Group diminta mengganti kerugian negara sebesar Rp 4,89 triliun.
Menurut Sutikno, kedua korporasi tersebut saat ini masih dalam proses dan belum secara resmi mengembalikan dana tersebut, namun Kejaksaan berharap komitmen serupa akan ditunjukkan oleh mereka. “Kita harapkan mereka juga akan mengembalikan secara utuh seperti yang dilakukan Wilmar Group,” tegasnya.
Pengembalian dana dalam jumlah besar ini diharapkan tidak hanya menjadi bagian dari pemulihan kerugian keuangan negara, tetapi juga menjadi preseden hukum dalam penanganan kasus-kasus korupsi yang melibatkan korporasi besar. Kejaksaan Agung menyatakan bahwa pihaknya akan terus mengedepankan akuntabilitas dan integritas dalam penegakan hukum terhadap aktor-aktor ekonomi yang diduga melanggar hukum.
Kasus ini menegaskan bahwa praktik korupsi di sektor strategis seperti minyak sawit tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga berdampak pada kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan peradilan. Pemerintah dan aparat penegak hukum diharapkan dapat menyelesaikan kasus ini secara tuntas dan memberikan efek jera bagi pelaku, termasuk para penegak hukum yang diduga terlibat dalam praktik suap. (*)