GAYO LUES | Memasuki pekan kedua pascabencana banjir bandang dan tanah longsor, kondisi di Kabupaten Gayo Lues, Aceh, masih jauh dari pulih. Lebih dari 40 desa di empat kecamatan dilaporkan masih terisolasi, menyebabkan ribuan warga kesulitan akses terhadap kebutuhan dasar. Hingga saat ini, tercatat 3.779 jiwa mengungsi, sementara 88 jembatan rusak berat dan sebagian besar tidak dapat digunakan sama sekali.
Dikutip dari metrotvnews.com, salah satu kerusakan paling vital terjadi di Desa Penomon Jaya. Jembatan utama di desa ini putus total akibat terjangan banjir, memutus akses vital menuju area perkebunan, persawahan, pabrik getah karet, dan sejumlah destinasi wisata yang selama ini menjadi sumber utama penghasilan warga. Dengan lumpuhnya jembatan, mobilitas warga sepenuhnya terganggu, memaksa mereka mencari cara-cara ekstrem untuk keluar masuk desa.
Tanpa jalur resmi, warga terpaksa menggunakan kabel sling atau tali gantung yang dibentangkan melintasi sungai agar bisa menyeberang. Selain itu, tangga darurat dari potongan kayu dan bambu dipasang di tebing curam untuk membantu warga turun ke dasar sungai, yang kini menjadi satu-satunya jalan keluar. Langkah ini sangat berisiko, tetapi menjadi opsi terakhir demi mengakses logistik dan layanan dasar seperti obat-obatan maupun air bersih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mayoritas warga yang terjebak di daerah atas desa merupakan pekerja perantauan, termasuk penyadap getah pinus dari luar daerah. Salah satunya Usep, seorang perantau asal Jawa Tengah, mengaku sempat tidak bisa turun dari lokasi penyadapan karena air sungai terlalu besar dan deras akibat hujan yang terus-menerus. Ia dan warga lain baru bisa bergerak ketika air mulai surut, itupun dengan risiko besar menyeberangi sungai menggunakan sling baja. Setiap hari, Usep bisa empat kali bolak-balik menyeberang hanya untuk mengambil logistik.
“Bahan pangan kami terbatas dan susah didapat. Akses yang rusak membuat kami benar-benar bergantung pada bantuan. Kalau tidak segera diperbaiki, kami di sini sangat kesulitan,” ujar Usep.
Sementara itu, di berbagai titik pengungsian, ribuan warga masih tinggal di bangunan darurat. Kondisi mereka masih serba terbatas, mulai dari makanan, sanitasi, hingga layanan medis. Meski bantuan logistik terus didatangkan melalui Bandara Blangkejeren, distribusinya ke desa-desa terdampak terhambat parah. Medan pegunungan membuat banyak lokasi tidak bisa dijangkau kendaraan roda empat. Beberapa hanya dapat diakses dengan berjalan kaki berhari-hari atau menggunakan transportasi udara.
Salah satu hambatan serius dalam proses distribusi bantuan adalah kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Stok BBM di daerah terdampak dilaporkan habis, membuat kendaraan pengangkut bantuan tidak bisa beroperasi. Jumlah helikopter yang disediakan juga sangat terbatas dan hanya mampu menjangkau beberapa titik strategis. Akibatnya, banyak anggota TNI-Polri dan relawan harus membawa sendiri bantuan logistik dengan berjalan kaki selama dua hingga tiga hari, menembus medan terjal untuk menjangkau warga yang benar-benar terisolasi.
Meski demikian, kondisi cuaca dalam beberapa hari terakhir cukup mendukung. Tidak turun hujan selama tiga hari berturut-turut, debit sungai mulai menurun, memberikan peluang bagi pembuatan jalur darurat dan mempercepat evakuasi serta pendistribusian bantuan. Namun, perbaikan jangka panjang tetap menjadi tantangan besar, terutama untuk membangun kembali jembatan dan membuka kembali jalan-jalan utama yang tertimbun material longsoran.
Pemerintah daerah terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan lembaga terkait untuk mendatangkan alat berat dan pasokan logistik dalam jumlah besar. Namun kompleksitas medan dan skala kerusakan membuat proses pemulihan diprediksi membutuhkan waktu cukup lama. Warga Gayo Lues kini menggantungkan harapan pada percepatan perbaikan akses dan distribusi bantuan agar kebutuhan dasar dapat terpenuhi dan aktivitas warga bisa kembali berjalan meskipun secara bertahap.
Dalam kondisi seperti ini, respons cepat, sinergi antarinstansi, dan dukungan lintas sektor menjadi sangat krusial agar krisis tidak berkembang menjadi bencana kemanusiaan yang lebih besar. Warga di puluhan desa terpencil Gayo Lues saat ini bertahan dengan segala keterbatasan, berharap jembatan tidak hanya akan kembali berdiri, tetapi juga membuka kembali ruang harapan mereka yang sempat tertutup oleh terjangan air bah. (*)


































