DPR RI Semprot Wakapolri, Pelayanan SPKT Polri Dinilai Kalah dari Satpam

Redaksi Bara News

- Redaksi

Kamis, 20 November 2025 - 00:52 WIB

50219 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

JAKARTA |  Sorotan tajam terhadap kinerja Kepolisian Republik Indonesia kembali mencuat dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR RI yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa (18/11/2025). Di hadapan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri) Komjen Dedi Prasetyo, sejumlah anggota dewan menyampaikan kritik keras terhadap berbagai persoalan reformasi hukum, terutama di institusi Polri. Kritik paling menonjol datang dari anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K. Harman.

Dalam forum resmi yang membahas implementasi reformasi hukum nasional itu, Benny dengan tegas menyebut bahwa pelayanan dasar Polri, khususnya di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), dinilai kalah responsif dibanding satuan pengamanan (satpam) di pusat perbelanjaan. “Pelayanan SPKT kita lebih buruk dari pelayanan satpam. Di tempat saya, rakyat itu bilang: ‘Pak, kalau lapor ke polisi lama, nunggu. Tapi kalau ke satpam, cepat datangnya.’ Ini ironi. Dan ini fakta. Bukan sekadar fenomena,” ujar Benny, sebagaimana terdokumentasi dalam video rapat yang diunggah melalui kanal YouTube Sriwijaya Post.

Pernyataan Benny tidak berhenti di situ. Ia menambahkan, “Kalau rakyat tidak punya kenalan polisi, laporannya sering tidak ditindaklanjuti. Tapi kalau mereka kenal siapa-siapa di Polres, baru bisa cepat. Ini bukan sistem pelayanan publik. Ini jaringan patronase. Kalau seperti ini terus, rakyat malas melapor ke polisi. Kepercayaan mereka habis.”

Komentar tersebut lantas mendapat perhatian serius dari forum. Benny menegaskan bahwa reformasi hukum yang diusung pemerintah belum menyentuh persoalan utama, yakni transformasi kultur lembaga. Menurutnya, perubahan hanya berputar pada struktur dan teknologi, tapi belum menyentuh aspek perilaku dan pola pikir aparat penegak hukum.

Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo, yang hadir langsung dalam RDP itu, merespons kritikan tersebut dengan nada terbuka. Ia mengakui bahwa institusinya masih menghadapi tantangan besar dalam proses reformasi, terutama dalam hal budaya organisasi. “Reformasi yang awalnya struktural dan instrumental, yang masih menjadi PR kami hari ini, dari semua saran, masukan, kritikan, dan harapan masyarakat, adalah reformasi di bidang kultural,” ujar Dedi di hadapan para anggota DPR.

Dedi menyebut bahwa meskipun struktur dan perlengkapan institusi terus diperbaiki—dari sisi kelembagaan, SDM, hingga penggunaan teknologi—tetapi akar persoalan justru terletak pada pola pikir dan budaya pelayanan yang belum berubah secara merata di jajaran bawah. Ia mengakui, masih ada praktik birokratis yang menghambat masyarakat mendapatkan layanan cepat dan setara.

SPKT, sebagai pintu masuk pelayanan hukum di tingkat Polres dan Polsek, idealnya menjadi etalase profesionalisme Polri. Namun realitas di lapangan, seperti yang disampaikan para legislator dan warga melalui berbagai testimoni, menunjukkan ketimpangan respon. Masyarakat mengeluhkan lambannya penanganan laporan, rumitnya prosedur, bahkan diskriminasi berdasarkan latar belakang sosial pelapor.

Video kanal Sriwijaya Post menunjukkan secara utuh pernyataan Benny K. Harman, yang menekankan bahwa upaya reformasi hukum tak akan efektif jika aparat masih bekerja dengan paradigma kekuasaan, bukan pelayanan. Ia bahkan menyarankan agar SPKT menjadi indikator utama dalam mengukur keberhasilan reformasi Polri. “Kalau SPKT-nya masih buruk, lupakan omongan reformasi. Kita hanya mengelabui publik dengan statistik dan slogan digitalisasi,” kritik Benny dengan nada lantang.

Ia juga mendorong sinergi nasional di antara lembaga penegak hukum, termasuk Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Komnas HAM, untuk turut mendorong reformasi yang berbasis integritas dan pelayanan publik. “Jangan hanya duduk bersama di forum-forum, kemudian tak ada progress lapangan. Rakyat tidak butuh rapat, mereka butuh hasil,” katanya.

Sejumlah anggota Komisi III lainnya mendukung desakan agar reformasi tidak berhenti pada perubahan kosmetik. Perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap kualitas pelayanan yang diterima masyarakat, terutama di daerah-daerah, bukan hanya di tingkat pusat. Mereka meminta agar reformasi Polri dikawal melalui audit publik terhadap layanan dasar seperti penanganan pengaduan masyarakat, tingkat penyelesaian perkara, hingga kepatuhan etik aparat di lapangan.

Komjen Dedi Prasetyo menegaskan bahwa pihaknya tidak menutup mata terhadap kritik tersebut. Ia bahkan mempersilakan Komisi III untuk melakukan evaluasi bersama terhadap kinerja Polri di wilayah. Ia menyampaikan bahwa internal Polri juga tengah menyusun indikator audit budaya kerja dan evaluasi terintegrasi terhadap layanan publik.

Di luar forum DPR, pernyataan Benny K. Harman viral di media sosial dan mendapat reaksi luas dari masyarakat. Banyak pengguna internet membagikan pengalaman pribadi mereka saat berurusan dengan SPKT, mulai dari proses pelaporan kehilangan yang berbelit, intimidasi ketika membuat laporan kriminal, hingga kasus kriminal yang macet karena tak ada tindak lanjut. Respon publik ini menunjukkan bahwa kritik yang dilayangkan bukan tanpa dasar, namun mencerminkan pengalaman kolektif yang selama ini belum terjawab.

Reformasi sektor hukum menjadi agenda yang semakin mendesak di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap aparat. Di sisi lain, pernyataan terbuka dari Polri untuk menerima kritik dianggap sebagai tanda awal bahwa ada ruang untuk berubah. Namun publik menunggu lebih dari itu: perubahan nyata. Bagi masyarakat, ukuran keberhasilan reformasi bukan pada jumlah program yang dijalankan, melainkan pada apakah saat mereka datang ke kantor polisi, laporan mereka diproses dengan cepat—tanpa “kenalan”, tanpa “uang pelicin”, tanpa alasan.

Kritik tajam dari DPR, apalagi disampaikan di forum terbuka dan terekspos ke publik lewat kanal seperti Sriwijaya Post, menjadi pengingat bahwa tugas utama lembaga penegak hukum adalah melayani, bukan dilayani. Ketika satpam dianggap lebih sigap daripada polisi, itu adalah sinyal keras bahwa reformasi bukan hanya penting, tapi mendesak. (*)

Berita Terkait

Soeharto Dinilai Layak Menjadi Pahlawan Nasional, Ini Deretan Pencapaian Semasa Pemerintahannya
Kepala BGN Tuai Pujian, Kampanyekan Program Makan Bergizi sebagai Hak Anak Indonesia
Dolar Tembus Rp16.705: Kemenkeu Tetapkan Kurs Pajak 19–25 November 2025, Deretan Mata Uang Asing Ikut Terkerek dalam Keputusan Resmi Nomor 25/MK/EF.2/2025
Ultras Garuda Harus Jaga Netralitas dan Kedewasaan, Ditengah Situasi Sosial dan Politik yang Dinamis
Aktivis Mahasiswa Umpam Suarakan Anti Anarkis, Karena Rawan Disusupi Kelompok Anarko
Kuasa Hukum Jokowi Hormati Keputusan Penyidik, Tiga Tersangka Kasus Ijazah Tak Ditahan
KPK Tegaskan Korupsi di Daerah Masih Dominan, Dorong Penguatan Integritas Kepala Daerah
Menkes Tegaskan Rumah Sakit Wajib Layani Pasien Tanpa KTP Jika Kondisi Gawat Darurat

Berita Terkait

Kamis, 20 November 2025 - 23:22 WIB

Peredaran Rokok Ilegal di Mataram Meningkat, KPK-PD NTB Desak Bea Cukai Bertindak Tegas

Kamis, 20 November 2025 - 03:05 WIB

Transparansi Zakat ASN Ogan Ilir Disoal: Potensi Rp8 Miliar per Bulan, Pelayanan Baznas Dinilai Berbelit dan Tak Berpihak pada Rakyat Miskin

Selasa, 18 November 2025 - 02:22 WIB

Negara yang Terperosok dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rabu, 8 Oktober 2025 - 21:47 WIB

IWOI DPW Jateng Walk Out Dari Rapat Pemkab Jepara, Jawaban PLN dan Pemdes Dinilai Tidak Sesuai dan Penuh Kejanggalan

Selasa, 7 Oktober 2025 - 17:24 WIB

Kebakaran SMA di Tebing Tinggi, DPRD Riau Minta Pemerintah Segera Bertindak

Rabu, 1 Oktober 2025 - 22:48 WIB

Kapolda Riau Ajak Polwan Tingkatkan Integritas dan Pelayanan Inklusif

Rabu, 1 Oktober 2025 - 21:15 WIB

Kabid SMA Riau Klarifikasi Isu Seragam: “Tidak Pernah Tunjuk Penjahit, Itu Tanggung Jawab Orang Tua”

Rabu, 24 September 2025 - 17:17 WIB

Mifa Bersaudara Konsisten Dorong Kemajuan Ekonomi Aceh.

Berita Terbaru